Rabu, 14 Mei 2008

Trauma Selangkangan Film Indonesia


Hari masih muda, matahari masih malu-malu menyelinap masuk dari rongga jendela kamarku. Dengan kantuk yang bergelayut dipelupuk mata, kupaksakan untuk beranjak bangun dan memulai hari.

Setengah sadar, aku meraba ke samping tempat tidur untuk mencari telepon genggam. Ritual yang biasa kulakukan untuk memulai hari. Ternyata ada beberapa pesan pendek yang masuk ke benda kecil yang sudah menjadi kebutuhan primer bagi manusia abad 21.

“Kami mengundang rekan-rekan media untuk menghadiri selamatan film Anda Senang, Saya Loyo di Cafe Venezia Taman Ismail Marzuki Jakarta”

Pada pesan pendek tersebut juga dicantumkan para pemeran film tersebut yang akan hadir. Kebanyakan -untuk tidak menyebut semua- adalah artis kelas dua yang kualitas aktingnya dipertanyakan. Damn, batinku, seks lagi, seks lagi. Apa tidak ada masalah lain yang lebih penting untuk disampaikan, apa permasalahan bangsa ini hanya disekitar masalah selangkangan.

Sejak Quicki Express yang berkisah tentang agen penyedia jasa “gigolo” meraih kesuksesan –dilihat dari kacamata jumlah penonton-, sejumlah film maker seolah latah untuk membuat komedi seks. Lahirlah film-film yang menjual kekonyolan beraroma mesum seperti Extra Large, DO, Big Size Mas dan yang saat ini masih dicekal ML.

Dari segi cerita satu film dengan yang lain nyaris beda tipis. Rata-rata menjual lelucon yang ujung-ujungnya tak jauh-jauh dari ranjang. Memang tak bisa dipungkiri, menjamurnya film bergenre komedi seks banyak ditonton oleh penonton.

Tema seks dalam film Indonesia bukanlah cerita baru, bahkan bisa dikatakan sebagai lagu lama yang diputar ulang –semoga kasetnya bukan bajakkanJ-. Pada akhir 80-an hingga awal 90-an film indonesia dibanjiri oleh film yang menyuguhkan tontonan Sekwilda –seputar wilayah dada- dan Bupati –buka paha tinggi tinggi-.

Dibioskop-bioskop terpampang poster-poster film dengan judul “menyeramkan” seperti Bebas Bercinta, Ranjang Cinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Permainan Erotik, Sentuhan Erotik. Tanpa menoton aku rasa anda sudah tahu cerita macam apa.

Maraknya genre film erotis pun membawa angin segar bagi sejumlah artis bertubuh molek, mulai dari Sally Marcellina, Yurike Prastika, Gitty Srinita, Kiki Fatmala serta Ineke Koesherawati. Sedangkan untuk pemain prianya muncul nama Ibra Azhari –adik Ayu Azhari yang sedang menginap di Cipinang karena terjerat kasus narkoba-.

Namun euphoria itu hanya berlangsung sementara, beberapa waktu kemudian perfilman Indonesia mati suri. Banyak alasan yang menjadi penyebab matinya film Indonesia. Mulai dari menjamurnya TV swasta nasional, masuknya era VCD serta DVD sehingga penonton lebih nyaman nonton dirumah, serta keseragaman tema yang membuat para penonton bosan.

Di era berikutnya muncullah Garin Nugroho lewat film Cinta dalam Sepotong Roti. Warna baru yang coba dituangkan Garin memang tidak begitu mendapatkan sambutan yang meriah. Melalui bahasa yang berbeda film Garin dianggap terlalu larut dalam dunianya. Tapi tak dapat dipungkiri, sejak saat itu jantung film Indonesia mulai berdetak, meski masih sangat lemah.

Selanjutnya muncul film anak-anak Petualangan Sherina besutan sutradara Riri Riza. Film musikal yang diproduseri oleh Mira Lesmana tersebut berhasil meraup sukses dan menghantarkan Sherina menjadi artis cilik yang paling populer dimasa itu.

Seolah tak puas, diawal tahun 2000-an Mira melahirkan film Ada Apa Dengan Cinta yang mempopulerkan Dian Sastro serta Nicholas Saputra. Keduanya menjadi ikon remaja. Gaya berpakaian, bicara, rambut mereka pun menjadi trend setter dikalangan anak muda.

Gaya seragam sekolah Dian Sastro difilm tersebut yang mengenakan potongan baju junkies serta kaos kaki panjang ala pemain sepak bola menjadi seragam sekolah anak gaul dikota-kota besar pun mewabah.Dari situ arah perfilman Indonesia pun berubah. sinetron serta film bertema remaja merajalela. Para pemain yang sudah berumur tersingkir.

Gairah kebangkitan film Indonesia bangkit. Sejumlah sineas muda muda muncul memberikan semangat baru. sejumlah film bergizi diproduksi, sebut saja Opera Jawa, Nagabonar Jadi 2, Tiga Hari Untuk Selamanya, dll.

Namun belakangan ini arah trend kembali bertiup ke sekitar paha, dada dan ranjang. Atas nama pasar, keseragaman tema dicetak. Apa ini tanda malaikat maut tengah bersiap mencabut nyawa film produksi anak negeri? Semoga tidak.

Tidak ada komentar: