Minggu, 14 Desember 2008

Perempuan


Pagi ini mata saya terkesiap melihat sebuah tayangan televisi. Tayangan berdurasi lima menit menit kurang itu bertutur mengenai penggerebekan di sebuah hotel melati di kawasan Cirebon. Pada tayangan tersebut diperlihatkan secara gamblang bagaimana para Pekerja Seks Komersil (PSK) itu diserbu dengan para polisi (m)oral dan sejumlah pihak yang mengatasnamakan agama.

Tidak hanya sampai disitu, para juru warta pun ikut-ikutan mengadakan sidang susila dadakan dengan menyorot tubuh telanjang para perempuan. Aksi kejar-kejaran perempuan-perempuan itu dengan aparat yang terhormat dihadirkan bak lelucon slaptik antar anggota srimulat.

Perasaan miris bergelanyut dibenak saya. Terlepas salah atau tidak mereka, apakah para polisi moral itu berhak melakukan hal-hal yang melanggar batas-batas kemanusiaan?. Apakah karena mereka melakukan zina, lalu mereka berhak dihakimi bak binatang.

Adakah terbersit di kepala bapak aparat yang terhormat atau aktivis yang agamis bagaimana perasaan anak dan keluarga mereka menyaksikan tubuh darah dagingnya digiring telanjang bulat. Bagaimana kalau itu terjadi pada anak, istri atau saudara mereka?.

Pertanyaan saya selanjutnya, kenapa yang disorot hanya perempuan. Sementara laki-lakinya dibiarkan bebas melenggang –setidaknya dibiarkan mengenakan pakaian terlebih dahulu-. Bukankah sebelumnya mereka –laki laki dan perempuan- yang berasyik masyuk, tetapi kenapa dalam hal ini (terutama pemberitaan tadi) perempuan seolah lebih hina.

Ah, perempuan

Minggu, 09 November 2008

Jatuh Cinta

Akhir pekan ini saya memilih untuk menghabiskan waktu sendirian. Satu hal yang jarang saya lakukan ketika masih bersama dia. Ternyata menyenangkan juga menemukan tempat makan yang ingin dikunjungi tanpa harus berkompromi dengan selera orang lain atau berlama-lama di toko buku tanpa harus mendengar deheman kesal.

Bebas dan sepi datang serentak dalam hidup saya. Bebas karena saya tidak perlu merasa bebas karena berhari-hari tidak mengabari seseorang tentang keberadaan saya atau bebas saya tidak perlu melakukan adu argumen seperti pakar ekonomi di televisi. Menghabiskan energi hanya untuk berdebat tentang hal-hal kecil. Intinya hidup saya sekarang lebih nyaman, aman, tentram.

Bersamaan dengan itu, rasa sepi diam-diam merasuk dalam relung hati saya. Handphone saya jadi jarang berdering -bukankah biasanya juga demikian hehehe- tapi tak apalah yg penting rasa cemas itu tak lagi mengganjal.

"Kalau gue balik lagi ma .... gimana Niks" Tanya saya kepada seorang teman.
"Mang die ngajak lo balik?" teman saya balik nanya.
"Kan gue bilang kalau"
"Ya, gue cuma mo bilang ati-ati aja"
"Ati-ati maksudnya? mang dia lampu lalu lintas" jawab saya sekenanya.
"Maksud gue, ati-ati Mas ...."
siaaaalll umpat saya.
"Mang apa sih yang ngebuat lo suka ma dia Ty" tanya kawan itu lagi.
Saya diam, sama seperti ketika teman lain bertanya mengapa saya masih bertahan dengan mantan padahal dia puluhan kali membuat saya bersimbah air mata.

Mengutip lagu Agnes Monica, cinta itu kadang-kadang tak logika. Bahkan saya juga tidak bisa menterjemahkan kenapa saya mencintai dia atau hal apa dalam diri dia yang membuat saya termehek-mehek kaya reality show di salah satu stasiun tivi swasta.

Bodoh mungkin, tapi saya punya bukti kalau bukan hanya saya manusia bodoh di muka bumi ini.

Teman saya, rela bolak-balik Bogor-Jakarta mengantarkan sang pujaan hati. Karena hanya itu waktu yang mereka punya, maklum sang kekasih sudah berstatus ibu dua anak.

Saya pernah marah dan menganggap dia stupid little person. Apa sih hebatnya perempuan itu? Padahal masih banyak perempuan lain yang jauh-jauh lebih baik dari kekasihnya dan secara terang-terangan mencintai dia. Teman itu hanya tersenyum, mungkin dia juga kehilangan kata sama seperti saya.

Contoh lain dari kebodohan cinta dilakukan oleh sahabat saya, puluhan kali dikhianati, ratusan kali dibohongi, ribuan kali disakiti tapi tetap menerima lakilaki itu layaknya malaikat suci. Cinta telah membuat mata seseorang jadi buta, masokis dan menghapus semua logika.

Penyair Tan Lioe Ie pernah mengatakan pada saya kalau ikan di dalam aquarium tak pernah sadar kalau air tempat ia berenang keruh. Sementara orang yang di luar bisa melihatnya dengan nyata. Hal serupa terjadi pada orang yang sedang jatuh cinta. Ngomong-ngomong soal jatuh cinta sudah lama saya nggak jatuh cinta.

Minggu, 12 Oktober 2008

Ketika Cinta Kadaluarsa


Percayakah kamu segala sesuatu yang bertebaran di atas dunia ini punya batas kadarluarsa. Entah itu benda-benda seperti susu kaleng, roti hingga rasa cinta. Orang lain boleh tidak sepakat dengan pendapat saya, tetapi itulah pemandangan yang saya saksikan selama dua puluh tiga tahun hidup di bumi.

Hampir seperempat abad ibu dan ayah saya hidup bersama. Tentulah asal muasal kebersamaan itu adalah cinta. Tetapi seiring berjalannya roda kehidupan, saya melihat cinta yang terjalin diantara mereka mulai pudar, hilang untuk kemudian bertransformasi menjadi rasa sayang dan saling membutuhkan.

Saya dan pacar saya memutuskan untuk berpisah pekan lalu. Ini perpisahan yang kesekian bagi kami setelah puluhan kali putus nyambung selama dua tahun. Tak seperti yang dulu-dulu saya tidak merasa sakit pada perpisahan kali ini.

Mungkin ada rasa kesal yang menyelimuti, tapi saya rasa itu lumrah. Kami pernah berjalan bersama selama 720 hari dan sudah semestinya ada perasaan hampa yang bergelayut ketika kebersamaan itu harus diakhiri.

Saya tidak membenci dia. Saya tahu dia sudah cukup berusaha menjadi yang terbaik. Entah itu dengan mengantar keluarga saya pulang pergi Jakarta-Bandung, mengajak adik-adik saya bermain ke Time Zone atau mengantarkan saya ke rumah sakit tengah malam.

Manusiawi jika selama perjalanan kami ada kerikil-kerikil yang melukai. Toh kami memang dua mahluk yang lahir dari agama dan budaya yang berbeda. Mungkin ada nilai-nilai yang dianggap salah oleh saya, tetapi benar menurut pacar saya sehingga mau tak mau terjadilah perselisihan.

Perselisihan itu lama kelamaan menciptakan jurang yang memisahkan antara saya dan dia. Makin lama ceruk yang tergali semakin dalam, sehingga tanpa sadar kami sudah berada di jalan yang berbeda.

Saya berharap menemukan jalan yang lebih baik saat kami berpisah, demikian pula sebaliknya. Mencari pengganti? Oh sudah pasti. Tapi untuk saat ini lebih baik saya merelaksasi hati, supaya saya bisa lebih bijak dalam menjalani hubungan dikemudian hari.

Di masa-masa berkabung ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk orang-orang yang ada buat saya. Untuk Monyet dan DW yang sudah mau diganggu oleh sms saya malam-malam, untuk Bang Toyib yang sudah mengirimi saya coklat dan buku bacaan, Kuncung dan Tante Plinplan yang mau menemani nonton Laskar Pelangi dan shopping heboh di Centro.

Dan tentu untuk mantan pacar saya. terimakasih, kita memang pernah punya cerita indah tetapi mungkin sudah tiba masanya kadarluarsa.

Rabu, 08 Oktober 2008

Selingkuh Itu Indah


Otak saya sedang “menye-menye”. Maklum, beberapa minggu belakangan ini saya “dibombardir” dengan curhatan beberapa teman tentang pasangannya yang selingkuh. Refleks sirene peringatan otak saya pun langsung berbunyi, jangan-jangan pacar saya melakukan hal yang serupa.

Teman saya yang pertama sebutlah namanya Barbie. Ia cantik, kaya dan mendekati kata sempurna seperti Barbie. Saya berpikir betapa beruntungnya laki-laki yang menjadi pacar Si Barbie, jauh lebih beruntung dari pada laki-laki yang memacari saya.

Tetapi belum lama, tiba-tiba pada YM Si Barbie tertulis status, menghapus jejakmu. Insting gosip saya yang memang sudah terasah sejak lama langsung tanggap. Tanpa tendeng aling-aling saya langsung mengetuk jendela Ym Barbie. Ada apa Jeng, statusnya kok melow banget, tanya saya dengan want t knownya.

Seperti membuka keran, lalu mengalirlah curhatan dari bibir seksi Si Barbie (lewat YM tentunya). Sambil termehek-mehek ia bercerita kalau kisah cinta antara dia dan pacarnya sudah selesai. Si pacar terlibat CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali dengan mantan kekasihnya yang baru pulang dari luar negeri.

Gara-gara putus cinta, Si Barbie sempat mengalami depresi berat. Kerjaan di kantor jadi amburadul, matanya pun sering kelihatan bengkak. Bahkan, kemarin Barbie bercerita kalau dia terkena insomnia, baru bisa tidur setelah ayam berkokok. Walah sampai segitunya ya, batin saya.

Kini Si Barbie tengah mencoba merajut kembali serpihan-serpihan hatinya yang sempat terkoyak. Untuk masa penyembuhan itu, ia tak segan-segan merogoh kantongnya dalam- dalam. Entah itu liburan ke luar kota, belanja-belanji, begeol di kafe untuk haha hihi atau dugem sampai pagi.

Teman lain yang menjadi “korban” perselingkuhan adalah Tante Plinplan. Si Tante memang sempat menjalin hubungan jarak jauh. Pacarnya, Oom Plinplan sempat tinggal lama di negeri seberang untuk menuntut ilmu.

Ternyata sang pacar menganut peribahasa, sambil menyelam minum air. Sambil kuliah, cari pacar lain. Fakta tersebut terkuak ketika si pacar pulang ke tanah air. Tentu si tante terkejut, bedanya dengan si barbie, tante tidak bisa berbuat apa-apa karena dia juga melakukan hal yang sama. Mo gimana lagi Ty, gue paham kok kalo dia kesepian disana, kata si Tante dengan bijak.

Perasaan saya semakin dag dig dug serr, kalau yang cantik bin kaya saja diselingkuhi apa lagi saya yang tidak cantik dan tidak kaya. Atau lebih baik saya saja yang selingkuh supaya tidak menangis karena diselingkuhi.

Bermain Dengan Sunyi


Lagi, Jakarta membuat otak saya muntah. Perasaan saya seolah meringis, diiris oleh nyanyian sunyi. Ah, baru tiga hari saya menginjakan kaki kembali ke tanah merah ini, tetapi kenapa jengah sudah memenuhi kepala.

Ada setumpuk pekerjaan yang harus saya kerjakan. Ada sederet perubahan yang ingin saya lakukan. Tapi yang saya lakukan tak lebih dari sekedar diam, dan membiarkan sunyi yang menari-nari. Memamah waktu milik saya.

Seminggu di rumah bersama keluarga membuat batin saya tenang. Meski terkadang bayangan laki-laki itu melintas dibenak saya, tak mengapa karena sekarang saya sudah bisa mengusirnya. Tapi ada malu yang pelan-pelan merasup dalam kalbu.

Saya malu karena telah membuat ayah dan ibu berpikir kalau saya adalah anak baik. Anak manis yang pantas mereka gadang-gadang di depan keluarga besar. Ah, semoga saja mereka tidak tahu karena saya sendiri malu.

Saya seorang yang jauh dari kata sempurna. Berkali saya kehilangan sahabat karena sebuah keegoisan. Saya biarkan mereka berlalu untuk sebuah keangkuhan. Padahal kalau mau jujur batin saya sering berbisik lirih bahwa saya butuh mereka. Tapi saya memilih untuk mendongakan kepala.

Saya memilih larut dalam sepi-sepi

Bermain bersama bayangbayang

Kelabu..

Buat semua yang pernah merasa tersakiti baik dengan sengaja ataupun tidak, kali ini saya ingin merunduk sekedar memohon dibukakan pintu maaf.


Nb : Foto ini karya dwi rastafara


Minggu, 14 September 2008

Pria Bermata Kupu-kupu


pagi buta kamu sudah menoreh luka pada mata saya
kamu gores retina dan pupil untuk mengeluarkan kupu-kupu dari sarangnya
diterik siang kamu mulai memamah bibir saya
bukan dengan cinta, tapi dengan cuka serta retorika
pekat malam tak menghalangi lakumu mencongkel hati saya
bukan untuk dikoleksi, melainkan dibuang untuk makan anjing
sekarag hanya televisi di kepala saya yang masih nyala
semoga kamu tidak mencabut kabelnya

-andai kamu tak serumit rumus aritmatika-

Kamis, 04 September 2008

Gaun Pengantin


Aku pandangi gaun pengantin berwarna putih yang tergantung di sudut almari. Aku tersenyum. Sudah saatnya gaun tersebut bangkit dari tidur panjangnya. Inilah waktu yang tepat untukku mengenakannya. Waktu menghadiri upacara pemakaman kekasihku, Izal.

Kurasa kebahagiaan menjalar dalam rongga dada ketika aku menyentuhnya. Kebahagiaan itu bercampur dengan detak jantung yang berdebar-debar. Aku layaknya seorang perawan yang tak sabar menunggu upacara pemberkatan.

Debar itu terjadi karena aku ingin tampil sempurna. Aku ingin semua mata terbelalak dan semua lidah berdecak melihatku. Hal yang utama, aku ingin melihat Izal bahagia dihari terakhirnya melihat dunia.

Setidaknya Izal bisa tersenyum melihat orang yang dicintainya tampak cantik. Ia tentu tak ingin melihatku menghadiri upacara pemakamannya dengan mata sembab dan wajah awut-awutan. Aku paham, karena aku tahu betapa Izal mencintai kematian.

Bila kematian menjadi sajak sendu bagi kebanyakan orang, tapi bagi Izal kematian merupakan saat-saat yang paling dinantikan. Ketika orang lain menganggap kematian sebagai sesuatu yang mengerikan sehingga kedatangannya disambut dengan jerit tangis serta raungan, bagi Izal kematian merupakan saat yang paling membahagiakan.

Ketika orang lain memilih bersembunyi menghindari kematian, Izal malah mencoba untuk mengakrabinya. Bagi Izal bunyi sangkakala merupakan bunyi terindah yang pernah ia dengar, melebihi denting piano maupun gema saxsofons.

Dalam kematian Izal berharap dapat mewujudkan impiannya yaitu mendirikan kampung dari potongan kuku. “Apa mungkin aku membangun kampung dari potongan kuku Tya?,” tanya Izal sembari mengelus-elus kepalanya yang botak.

Aku kembali tersenyum. Pasti bisa Izal. Kau pasti bisa mewujudkan semua impianmu, bisikku lirih.

Aku begitu mengagumi dan mencintai segalanya tentang Izal. Mulai dari pemikiran, karya termasuk kepalanya yang botak hingga ujung kuku penuh kotoran yang akan dijadikannya bahan baku membangun sebuah kampung.

Kuku-kuku Izal lebih kuat dari baja. Ia memang bukan Gatot Kaca yang memiliki otot baja tulang besi, tapi dia adalah titisan Sarpakenaka, raksasa perempuan buah cinta Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi.

Tak seperti jabang bayi biasa, Sarpakenaka keluar dari rahim Dewi Sukesi berupa potongan kuku. Kuku yang keluar beraneka rupa mulai dari yang berukuran kecil, besar hingga sangat besar. Kuku yang keluar tak hanya berupa kuku manusia tapi juga kuku hewan, iblis dan malaikat.

Setelah bersentuhan dengan udara kuku-kuku tersebut kemudian bermetamorfosa menjadi bayi yang sempurna. Meski demikian Dewi Sukesi tetap merasa jijik, ia tetap tak mau menyentuh bayi Sarpakenaka.

Hal serupa dialami Izal, sejak lahir ibunya enggan menyentuhnya. Bahkan tubuh Izal yang masih merah dan belum membuka mata digelindingkan begitu saja, hingga sampai di depan pintu rumah yatim piatu.

Padahal layaknya Sarpakenaka, Izal lahir dari erangan-erangan serta cakaran-cakaran kuku yang bersumber pada buncahan birahi yang menggerogoti jiwa kedua orang tuanya. Tetapi kemudian Izal ditelantarkan dalam sunyi, tak ada erangan atau cakaran.

Izal terlunta, tumbuh menjadi manusia yang haus akan belaian. Ia berkembang tanpa mengenal cinta. Hingga suatu saat Izal berkenalan dengan birahi. Suatu perasaan nyaman ketika kedua selangkangan saling terpatri. Ketika itulah ruh Sarpakenaka merasuk dalam tubuh Izal.

Ruh Sarpakenaka menyebabkan Izal memiliki perasaan yang halus walaupun ia seorang laki-laki. Tentu perasaan halus yang dimaksud berbeda dengan tingkah gemulai para presenter yang sering wara-wiri di kotak televisi.

Meski tak pernah diajar, Izal memiliki tutur kata yang santun. Layaknya seorang kesatria ia selalu berbicara dengan nada lirih namun mengandung kewibawaan. Karisma Sarpakenaka membuat Izal banyak digemari kaum perempuan.

Di usia 25 tahun Izal menikah dengan kemanakan seorang penulis ternama. Cantik nama perempuan itu, nama yang sepadan dengan wajah yang dimilikinya. Resepsi berlangsung dengan meriah, maklum Cantik berasal dari keluarga terpandang.

Ratusan rekan maupun kerabat kedua mempelai datang menghadiri resepsi. Di hadapan Izal dan Cantik, semua undangan mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Mulut mereka berbuih mengumandangkan doa agar keduanya menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Tapi hidup tak semanis madu

Perjalanan rumah tangga Izal tak semeriah pesta resepsinya. Kecantikan dan harta ternyata bukan jaminan untuk mencipta kebahagiaan. Cibiran maupun lontaran iri menjadi makanan sehari-hari. Suara sumbang seolah menjadi tembakan senapan yang membabi buta, membuat luka dan mengalirkan darah.

Belum genap tiga bulan Izal memutuskan untuk membubarkan rumah tangganya. Dalam keadaan penuh luka ia pergi meninggalkan Cantik, meninggalkan apa yang disebut-sebut orang sumber kebahagiaan. Izal memilih untuk pergi dan mencari kebahagiannya sendiri.

Ketika kecantikan dan harta tak bisa Izal menahan dalam waktu lama, tidak juga kesederhanaan. Tak lama setelah berpisah dengan Cantik, Izal menikahi Kembang, gadis kampung asal Bekasi.

Dari Kembang, Izal mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sunya. Tetapi Kembang maupun Sunya belum bisa memberikan kebahagiaan bagi Izal. Ia pun memutuskan untuk kembali pergi. Sebagai bentuk tanggungjawab Izal meninggalkan seluruh hartanya untuk Kembang dan Sunya.

Bertahun Izal hidup sendiri, ia sadar pernikahan hanya menciptakan sebuah belenggu diri. Di mana sebentuk jiwa akan terkungkung dalam terali. Penikahan bagi Izal seperti orang yang merasa dirinya hidup bertetangga, padahal mereka berada dalam gerbong yang berbeda.

Untuk masalah birahi Izal lebih sering menyelesaikan di kamar mandi. Mencakar diri dengan kuku, lalu mengerang karena selangkangan yang tercekik muntah cairan putih. Bila ada uang lebih terkadang Izal suka ke Cafe Dangdut atau rumah bordil. Tapi ia lebih senang bermimpi tentang serat pakaian wanita Sarpakenaka.

Di salah satu cafe dangdut itulah aku bertemu dia. Dalam remang cahaya cafe, Izal tampak mencolok karena aku melihat ada matahari yang bersinar pekat di atas kepala Izal, tepat di bawahnya tampak dua ekor mata bintang serta sesungging senyum aneh.

Dari situ aku sadar, Izal memang matahari, pusat tata surya di mana planet-planet berjalan mengitarinya. Aku pun jatuh cinta dan tersihir oleh pesonanya. “Kau tahu di surga tangah musim kemarau,” ujarnya kala itu.

Tak lama kami pun menjadi sepasang kekasih. Tentu tanpa ikatan pernikahan. Agar dapat berjalan berdampingan dengan Izal aku harus rela membumihanguskan impian tentang pernikahan.

Tapi tak mengapa karena Izal masih mempersilahkanku tetap bermimpi tentang gaun pengantin. Bahkan tanpa ragu ia membantuku mewujudkan impian itu, bahkan ia juga terjun langsung merancangnya.

Maka jadilah sebuah gaun pengantin berwarna putih dengan sebuah sayap. Kenapa satu? Karena Izal mengumpamakan aku sebagai malaikat bersayap satu. Bukan karena aku lumpuh, tapi karena sayap yang satu lagi melekat pada tubuh Izal. “Kau bisa memakai gaun itu pada hari yang paling membahagiakan dalam kehidupanku yaitu pada saat upacara pemakamanku,” ujarnya pada suatu waktu.

Sejak bersama Izal jiwaku terbelah, sebagian bersarang di tubuhku dan sisanya dibawa oleh dia. Aku hanyut dalam ritmis magis sepi-sepi dunia Izal. Berkawan dengan sahabat karibnya yaitu kematian, sehingga aku dapat menjelaskan dengan gamblang bagaimana keadaan kerak surga dan kerak neraka.

Izal menjejalkan cerita tentang manusia fiksi dalam sel abu-abu, sehingga tak ada lagi ruang kosong dalam otakku. Tak ada kemuraman, selalu ada harapan, sama seperti yang didengungkan Tuhan dalam kitab suci.

Hampir seperempat abad gaun pengantinku tertidur dalam lemari. Meski keinginan memakai gaun pengantin menggetuk sanubariku, tentu aku tak pernah berdoa saat yang berbahagia bagi Izal itu datang dengan cepat. Seperti Sapardi, aku ingin mencintai Izal dengan sederhana.

Tanpa kami sadar roda kehidupan begitu kencang bergulir, mengubah detik menjadi menit. Mengganti menit menjadi jam, menyulap jam menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun dan tahun pun semakin menua.

Hari itu kutemukan Izal terpejam, tapi bukan tidur. Meski sunggingan aneh itu tetap mengulas bibir tebalnya, namun tak ada hembusan udara yang keluar dari lubang hidungnya. Kuperiksa denyut nadinya, kutemukan Izal mati.

Sesaat aku bingung apakah mesti berbahagia atau berduka. Sebagai kekasih Izal tentu aku berbahagia karena saat yang dinantikannya telah datang. Tetapi mengingat separuh hatiku yang bersemayam di tubuhnya, aku sedih bukan kepalang. Terbayang olehku sulitnya mengatur sepi-sepi yang akan menggerayangi malam-malamku selepas Izal pergi.

Ingatanku terantuk pada gaun pengantin dalam almari. Sudah saatnya gaun itu kukenakan. Aku dapat merasakan Izal juga merasakan hal yang serupa, ia sudah tak sabar untuk melihatku memakainya.

Gaun putih itu terasa sedikit sempit, maklum dua puluh lima tahun lalu tentulah tubuhku tak sebesar sekarang. Tentulah tak ada kerut atau tumpukan lemak yang mengganggu. Tapi aku tak peduli, sama seperti acuhnya aku menghadapi kenyitan kening orang-orang melihat penampilanku.

Aku hanya ingin tampil untuk Izal. Sosok yang kusayangi selama ini. Ketika tubuh Izal yang dibalut kain kafan dimasukkan dalam liang aku bisa mendengar sorak bahagia. Saat tanah merah menutupi liang ku dengar teriakannya, aku sampai pada tepi darimana aku tak mungkin lagi kembali.

Minggu, 31 Agustus 2008

Marcell dan Agama



Saya kurang mampu berbasa-basi. Saya adalah pribadi yang punya kecenderungan tertutup. Saya harus merasa aman dan nyaman dulu baru bisa terbuka

Kalimat di atas saya kutip dari blog Marcell Siahaan, suami penyanyi Dewi Lestari. Membacanya membangunkan ingatan saya tentang Ia. Ia, sosok yang mengisi hari-hari saya dua tahun belakangan ini.

Ia bukan penyanyi, tapi punya tiga kesamaan dengan Marcell : batak, tertutup dan memiliki rambut ikal J. Dua tahun menjalin hubungan tentu bukan waktu yang singkat, jatuh bangun sampe nyungsep pernah kami rasakan. Entah mengapa dan untuk apa kami masih memutuskan untuk bersama.

Dia adalah penganut Katolik yang taat, sementara saya adalah muslim yang tidak terlalu taat

Perbedaan agama membuat saya ragu untuk melangkah lebih jauh dengan dia. Saya tahu, selalu ada pemakluman-pemakluman atas nama cinta, seperti saya dengan ikhlas menemani dia menjalani kebaktian di Gereja atau dia dengan senang hati menghormati ibadah puasa yang saya lakukan.

Tapi apa keluarga kami juga bisa melakukan toleransi yang sama? Ibu saya terang-terangan menolak hubungan ini. Tentu butuh ketegaan yang ekstra untuk menyakiti hati perempuan yang dengan sudah susah payah melahirkan dan membesarkan saya. apalagi konon katanya surga ada di telapak kaki ibu.

Ibu dan keluarga Ia juga belum tentu suka dengan saya. Mereka pasti lebih senang jika Ia menikah dengan gadis satu gereja yang marga Siahaan atau Manurung.

“Dinding pemisah kalian budaya, bukan agama,” kata Joko Pinurbo saat kami duduk di warung kopi pada suatu senja.

Mungkin juga..

Angan saya melayang pada Dia. Dia yang tahun lalu pernah mengemukakan tawaran “gila” pada saya. Tawaran gila yang membuat saya tersenyum bila mengingatnya.

Dia juga katolik, meski tidak taat seperti Ia. Setidaknya Dia pernah memimpin doa waktu ada kebaktian di rumahnya. Keluarga Dia juga cukup plural, seolah agama hanyalah cangkang dan yang terpenting adalah pelaksanaannya. –tidak ada agama yang mengajarkan hambanya berbuat hal buruk-

Ajakan gila yang Dia tawarkan adalah menikah. Iya menikah –bagi orang yang mengenal Dia pasti akan terbahak-.

Dia berjanji menikahi saya dengan cara Islam. Dia juga berjanji mengganti kolom agama di KTP nya dengan tulisan Islam. Tentu hanya di KTP karena jika ingin beribadah tentu Ia akan memilih beribadah dengan cara katolik, Ia sudah berlangganan agama itu selama hampir 30 tahun. Dia juga menyatakan tidak akan keberatan kalau semua anak kami mengikuti kepercayaan saya.

Kalau kamu butuh imam sholat aja di masjid, nanti kalau anak kamu dah besar kan dia bisa jadi imam kamu. Lagian islamkan bukan sekedar nikah seagama atau nggak makan babi

Sayangnya hubungan saya dan Dia tak berjalan langgeng. Meski hingga kini kami masih jalan beriringan, namun kami lebih memilih memberi label teman, tak lebih sehingga No hug, No Kiss.

Ia berbaik hati menemani saya nonton jazz dan tak keberatan bila saya berteriak histeris melihat Glenn Fredly. Ia juga tak keberatan untuk merogoh kocek agak dalam untuk sekedar mentraktir makan sea food –i love sea food so much-.

Jujur kadang saya rindu saat-saat bersama Ia. Kadang saya berpikir akan menjawab, yes i will ketika dia mengajukan tawaran seperti tahun lalu. Tapi tawaran itu tak berulang, mungkin takkan pernah berulang.

Oya Ia juga punya dua kesamaan dengan Marcell, dia pendiam, tertutup dan berambut ikal –tapi dia Jawa-.

Rabu, 06 Agustus 2008

Lelaki Paruh Baya dan Eksotisme Pria Jawa


Jika para perempuan sering berteriak histeris melihat kegtampanan Dude Herlino atau tubuh liat VJ Evan, entah kenapa beberapa waktu belakangan ini saya lebih tertarik dengan lelaki-lelaki berusia matang. Penampilan yang matang ditambah kerut serta gurat-gurat diujung mata malah menambah kesan seksi mereka.

Perubahan selera saya terhadap laki-laki, mungkin terjadi seiring bertambahnya usia –halah kaya umur gue berapa aja- . Jika beberapa waktu lalu saya bisa orgasme melihat laki-laki tipe pemain band seperti Armand Maulana atau Erik Samsons, tapi kini mereka terlihat biasa saja dimata saya.

Tapi tentu bukan sembarang lelaki berusia matang yang membuat saya tertarik. Banyak laki-laki berusia matang yang berstatus singel, duda maupun doubel berceceran disekitar saya, sayangnya tak satupun yang memancing harsat saya untuk menggoda. Ketika menjalankan tugas, tanpa diduga satu dua kali saya bertemu dengan lelaki berusia matang yang memiliki pesona luar biasa dan kebanyakan mereka berdarah Jawa. Ah, saya masih terkena kutukan eksotisme pria Jawa.

Lelaki matang yang pertama kali membuat saya jatuh cinta adalah sutradara Garin Nugroho. Saya pertama kali bertemu dan berkenalan dengan sutradara Opera Jawa di sebuah cafe dibilangan Veteran. Awalnya saya cukup keder untuk menghampiri ayah tiga orang anak ini, maklum Garin merupakan tokoh perfilman tanah air yang saya anggap hebat.

Meski banyak pendapat yang mengatakan film-film Garin sekedar onani dan hanya dimengerti segelintir orang, namun saya tetap melihat sosok kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 ini sebagai maestro dibidangnya. Dengan mengumpulkan keping-keping keberanian saya menghampiri ayah dari Kamila Andini ini. “Oh kamu anak buahnya Taufik Rahzen,” ujarnya ramah ketika saya menyebut di institusi mana saya bekerja.

Obrolan panjang kemudian mengalir, Garin bertutur mengenai pengalaman masa kecilnya yang pelupa, ayahnya yang dituduh PKI hingga romantisme percintaannya. “Aku menikah dengan sahabat adikku,” kata pria yang pernah diisukan memiliki anak hasil penikahan sirinya di Bandung.

Saya terpesona, benar-benar terpesona. Apalagi ketika Garin mulai mendongeng tentang film, pasar dan bunuh diri. Ada sisi lain yang belum pernah dijamah oleh otak saya tersaji dengan manis melalui penuturannya. “Kamu harus merasakan sakit, dengan merasakan sakit kamu akan merasa hidup” ujar Garin.

Jarum jam berdentang sepuluh kali, tanda malam semakin larut. Sebenarnya saya enggan undur diri, tapi bagaimanapun saya harus pulang. Saya meninggalkan Garin dengan segala pesonanya.

Lelaki kedua yang membuat saya tertarik adalah penyair Afrizal Malna. Sebelum berkenalan dengan laki-laki berkepala plontos ini saya terlebih dahulu membedah karya-karyanya, namun saya belum merasakan getar istimewa. “Tak ada anjing dalam rahim ibuku”

Saya bertemu langsung dengan lelaki kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 pada sebuah pelatihan penulisan essay sastra yang diadakan beberapa waktu lalu di Solo. Sebetulnya Afrizal tak dijadwalkan hadir, namun karena pembicara lain Katrin Bandels tidak bisa hadir maka pria berdarah padang ini didaulat untuk menggantikannya.

Afrizal memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi.

Tak hanya ketika menulis, ketika bercakap dengan Afrizal saya juga harus ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya. Tapi hal itu menyenangkan, sebagaimana mencicipi strobery di atas kue tar. Secara tidak langsung Afrizal mengajarkan saya bahwa menjadi tidak jamak itu menyenangkan.

Beberapa pekan lalu Afrizal berkunjung ke Jakarta –walau dalam alam pikirannya ia tidak mengenal kota- Kami kembali bercakap panjang di rumahnya yang asri di kawasan Blok M. Karena kemacetan ibu kota saya terlambat satu jam, tapi Afrizal tetap menyambut dengan senyum ramah.

Kami berbincang seolah telah sekian puluh tahun saling mengenal –padahal saya baru kenal dia dalam hitungan bulan- Secangkir capucino menemani obrolan kami, “Awas panas,” ujarnya sembari terkekeh.

Afrizal membuka mata saya tentang dunia lain yang tak tersentuh. Perhatiannya dengan hal-hal kecil membuat saya terbelalak kagum. Bagaimana seorang perempuan tua yang menanam tomat bisa menjadi cerita yang menarik. Atau dongeng liris tentang kematian kedua orang tuanya dan bagaimana rasanya menjadi orang minang yang terbuang.

Sayang siang itu saya harus bertemu dengan kepala BKPM Lutfie, suami dari artis artis cantik Bianca Adinegoro. Kalau tidak pasti saya bisa lebih lama terbuai dengan cerita Alice In The Wonderland ala Afrizal.

Lelaki berikutnya yang menarik perhatian saya adalah Seno Gumira Ajidarma. Sejak duduk dibangku kuliah saya sudah berkenalan dengan pencipta tokoh Sukab ini. Bermula ketika seorang pangeran dari negeri senja –damn, gue belon bisa lupa ma ni orang- memberi buku Sepotong Senja Buat Pacarku, saya langsung jatuh cinta pada Seno melalui karya-karyanya.

Saya baru diizinkan Tuhan bertemu dengan pria kelahiran Boston 19 Juni 1958 ketika pengujian Undang-undang Perfilman di Mahkamah Konstitusi Jakarta. Waktu itu ayah dari Timur Angin ini jadi saksi yang diajukan Masyarakat Film Indonesia. Meski nggak sempat ngobrol lama, saya cukup terpana melihat sosok fotografer yang masih tampak menarik diusianya yang memasuki setengah abad.

Senin malam kemarin saya kembali bertemu dengan lelaki berusia matang tetapi masih menarik. Dia adalah Andreas Darwis Triadi. Di awal pekan, ayah dua orang putri ini tampak asyik menikmati malam syahdu dibalut alunan denting piano. Dari balik cahaya temaram yang membasahi Fashion Bar pemilik Darwis Triadi School of Fotography ini terlihat lebih mempesona.

Seperti biasa awalnya saya ragu untuk menghampiri pria kelahiran Solo 15 Oktober 1954 ini, namun keramahannya menyapa satu dua pengunjung yang datang membuat saya berani untuk nekat. Tak seperti yang saya bayangkan, ternyata penyuka jajanan pasar ini merupakan pribadi yang menyenangkan.

Tanpa sungkan ia berbagi cerita, mulai dari kisah masa kecilnya yang berasal dari keluarga sederhana hingga jatuh bangun usahanya meniti karir. “Saya pernah merasakan menjadi orang susah, bahkan untuk bayar sekolah saja sulit,” ujarnya sembari menghisap rokok yang terselip antara telunjuk dan jari manisnya.

Saya ragu ketika apakah Darwis mau menjawab ketika saya bertanya mengenai masalah rumah tangganya. Darwis sempat tertunduk, kemudian kata-kata mengalir dari bibir hitamnya. “Saya pernah mengalami beberapa fase sulit dalam hidup, tapi saya memang selalu mempersiapkan diri untuk sesuatu yang terburuk,” kata Darwis.

Kini Darwis mengaku tengah berusaha bangkit kembali, mengumpulkan puing yang sempat hilang. Untuk melewati masa-masa itu tentu ia butuh teman, setidaknya seseorang yang bisa diajak berbagi. “Saya punya teman dekat, tapi belum berencana untuk menjalin lebih dari itu,” tutur dia.

Duda Keren

Dua sosok lain rentang usianya tak terlalu jauh dengan saya, tapi bisa terbilang cukup matang. Mereka tampak memikat dengan segudang prestasi dibidang yang digelutinya. Sebut saja nama Dimas Djayadiningrat dan Hanung Bramantyo.

Dimas saya temui disuatu malam menjelang pagi. Meski tampak lelah sepulang syuting iklan di luar kota, mantan kekasih penyanyi Shanty ini tetap berceloteh dengan seru. Tak hanya lesunya industri video klip tanah air yang dituturkan pria kelahiran 24 Agustus 1973 ini, tapi juga mengenai perjalanan karir serta sikap perfeksionisnya.

Ditengah percakapan Dimas berujar, “Umur lo berapa sih Ty.”

“23” jawabku singkat.

“Anjir beda 13 tahun, pantesan gue berasa ngobrol ma ABG,” ujarnya sembari tergelak.

“Yee bukan gue yang ABG, tapi lo nya yang tua”

Dimas juga tampak tersipu ketika aku mengaku mengikuti perjalanan karirnya sejak awal, rese lo Ty, hanya itu yang diucapkan untuk menutupi raut wajah yang semu.

Hanung saya temui disebuah mall di Jakarta. Awalnya saya hanya berniat wawancara lewat telpon, namun ternyata kekasih Saskia Adya Mecca ini mau menyempatkan diri untuk bertemu langsung. “Saya ada di XXI PIM II nanti sore, kita ketemu disana aja,” kata Hanung.

Petang itu Hanung tampak menarik dibalut kemeja putih dan celana jeans. Setelah membeli tiket kami memutuskan untuk membunuh waktu di cafe terdekat. Hanung memesan hot lemon tea dan saya memesan segelas capucino dingin. Ternyata sutradara film Ayat-ayat Cinta ini memiliki kisah perjalanan hidup yang tak kalah fenomenal dari film besutannya.

Cinta, datang dan pergi menghampiri pria berdarah Jawa ini. Hanung sempat menikah pada usia muda hingga dikaruniai seorang anak bernama Bumi. “kami memutuskan untuk berpisah, ternyata untuk menjalin sebuah hubungan tak cukup hanya bermodalkan cinta,”

Ia juga menunjukkan cerita pendeknya yang berjudul layang-layang. Ceritanya cukup menarik dan “liar”.

“Dari pengalaman pribadi,” tanyaku. Hanung hanya tersenyum.

Puih, sebenarnya ada satu sosok lagi. Tapi secara usia dia belum terbilang matang, baru memasuki kepala tiga. Dia bukan orang terkenal, yang kalau namanya disebut orang akan langsung tahu. Dia hanya penulis tidak terkenal dari Yogya. Perawakannya juga tidak istimewa, meski seorang teman mengatakan sekilas dia mirip Piyu Padi –saya curiga mata teman saya menderita katarak-

Saya mengenal dia sekitar dua tahun silam, tapi kami baru dekat sekitar setahunan. Dalam rentang itu hubungan kami fluktuatif dan selalu berputar pada lingkaran setan. Saya ingin dia pergi dari kehidupan, tapi sesaat kemudian sayalah yang berteriak ingin dia kembali.

Akhir bulan Juni silam Tuhan memberikan kado istimewa bagi saya, yaitu bersama dia. Memang tak lama, hanya sekitar tiga jam. Tapi saya bahagia, meski setelah itu dia kembali menghilang...

Senin, 04 Agustus 2008

Ode Buat Monyet


“Aku pamit. Semoga loe bisa mempertahankan idealisme sebagai seorang jurnalis di kota yang suck kaya Jakarta”

Pesan pendek itu masuk dalam telepon genggamku jam1 dini hari. Setengah sadar ku baca, ada hampa yang menggenang di kepala. Satu lagi sahabat hilang ditelan oleh monster bernama Jakarta, tanah merah yang telah berganyang beribu kepala.

*****

Urban Jazz Crossover, sebuah acara musik yang mengawinkan antara jazz dengan musik-musik urban seperti rock, pop, hip-hop bahkan dance. EQ Puradiredja, sang sutradara di balik layar menawarkan sebuah Ide gila dengan mengubah lagu Radja yang berirama rock menjadi swing atau membawakan Smell Like Teen Spiritnya dengan alunan saxsofon.

Aku, salah satu manusia urban yang ikut menyempal kepadatan kota Jakarta tertarik menonton pertunjukkan akrobat musik tersebut. Meski tak yakin bisa mencerna alunan musik kelas atas tersebut, setidaknya aku bisa melemaskan urat syaraf yang enam hari kebelakang dipaksa untuk terus tegang.

Tapi tentu saja aku tak mau konyol tenggelam diantara para sosialita, aku butuh satu orang teman yang kastanya sederajat untuk menemaniku menikmati pertunjukkan itu. Maka ku kirim pesan pendek pada dua orang teman Gendut dan Monyet berisi ajakan untuk menonton.

Lima menit, setengah jam, tiga jam tak ada jawaban. Mungkin mereka malas menemani, tapi juga enggan berbasa-basi menolak. Tidak membalas pesan merupakan salah satu cara jitu untuk menolak ajakan. Kantuk semakin pekat hinggap dimataku, aku menyerah.

Dengan mata sayup yang masih terbuka setengah, kuambil telepon genggam yang mencicit dengan rakus. Sebuah pesan pendek tertulis dilayar monitor : “Maaf aku nggak bisa Tet. Besok aku pulang ke Yogya, tanggal 23 aku resign dari HOL”

Masih setengah ling-lung ku letakkan kembali alat komunikasi yang sudah menjadi kebutuhan primer abad 21 ini. Ku biarkan tubuhku kembali rebah, sementara benakku melayang kepada dia serta jalinan yang pernah diuntai.

Dia, pria sederhana yang membuat aku jatuh cinta pada Jawa. Pada tubuhnya kutemukan dua kutub yang saling bertentangan, antara feodalisme khas Jawa dan keterbukaan ala barat. Semua menyatu dalam sel abu-abu yang ada di kepalanya dan menjadi daya tarik tersendiri.

Awalnya aku menganggapnya lelaki biasa, dijual obral sepuluh ribu empat dan bisa dengan kudapatkan dengan mudah di emperan Senen atau Pasar Baru. Laki-laki dengan mulut penuh ular-ular kebusukan yang selalu haus akan selangkangan atau laki-laki yang bisa membuatmu mati kebosanan, karena omongannya mirip dengan khotbah jumat di DPR. Underestimate maupun apriori menjadi bagian dalam diriku semenjak dua tahun menetap di Jakarta, ah lagi-lagi aku menyalahkan kota tempatku mencari makan.

Aku lupa dari mana kedekatan itu berawal, tahu-tahu kami sudah terjebak dalam perdebatan realis magisnya Marques. Tiba-tiba saja masing-masing dari kami sudah punya panggilan sayang, dia ku panggil monyet dan dan dia memanggilku Kuntet.

Dia teman yang menyenangkan untuk diajak menghabiskan malam-malam Jakarta. Sedikitnya tawa kami yang mengembang di langit-langit Jakarta mengurangi kadar karbondioksida maupun timbal yang keluar dari pantat dinosaurus berlabel mercy, mikrolet ataupun bajaj.

Sebotol bir atau secangkir kopi kerap kali menjadi teman kami bercerita, mulai dari kisah Soeharto yang mangkir tiga minggu waktu dipanggil Tuhan. Sehingga bukan hanya wartawan atau perawat yang bergantian berjaga tapi juga malaikat maut. “Jangankan dipanggil jaksa agung, dipanggil Tuhan aja Soeharto mangkir,” ujar dia kelakar.

Dan aku tersenyum mengingatnya.

Pernah suatu saat kami membahas mengenai seks dan selangkangan. Monyet berpikir seharusnya manusia tidak perlu menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan istimewa. “Perlakukan seks layaknya kebutuhan biologis lainnya seperti makan, minum atau buang air,” ujarnya.

Bukankan makan, minum maupun buang air juga memiliki aturan yang harus ditaati. Kalau tidak mau muka bengkak-bengkak biru atau setidaknya diteriakin maling, untuk makan di restoran tentu harus membayar –kalau nggak pasti wartawan yang sedang ikut konpes -

Begitu pula kalau buang air, orang waras tentu tidak akan buang air di sembarang tempat. Meski sudah kebelet, setidaknya ia akan memilih tempat tertutup dan sepi. “Tentu lo nggak akan beol di depan kelas kan,” kata Monyet.

Seks seperti makan, tergantung selera. Selera juga bisa datang begitu saja, tanpa alasan yang logis.

Huh Monyet, lelaki bertubuh padat yang kerap mengundang birahi para perempuan – ingat waktu kita dugem di X2 banyak tante yang ngedeketin lo J- . “Lo tuh asik untuk diajak temenan dan diajak tidur, tapi bukan untuk dipacari,” ujarku.

“Sok tau lo, mang pernah pacaran ma gue. Lagian gue juga nggak mau tidur ma lo”

“ya udah kita pacaran aja untuk membuktikannya” tantangku

“Hua jauhkan gue dari mimpi buruk itu” kata Monyet yang gue yakin bukan dari hatinya yang terdalam.

****

Sepekan setelah kepergiannya kuputuskan untuk menghubungi Monyet. Ku tekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala.

“Lo baik-baik aja kan”

“Yups”

“Syukurlah..” dan kami bercerita panjang tentang obsesi dan alasannya meninggalkan belantara Jakarta.

“Kalau lo baik-baik aja, gue dukung lo pindah Nyet” ujarku

“Kalau lo nggak dukung mang ngaruh buat gue,”

Monyet nggak berubah dan semoga nggak akan berubah.

“Btw Nyet, gue masi pengen makanan Yogya lho,”

Kamis, 19 Juni 2008

Senja Di Balik Jendela



Nothing takes the flavor out of peanut butter quite like unrequited love

Tiara masih duduk ditepi jendela, memandangi jakarta yang basah. Tetes rinai hujan beberapa masih jatuh dari langit berwarna abu-abu. Tuhan sepertinya sedang menyukai warna abu-abu, batin Tiara.

Jauh dibawah sana, puluhan bahkan ratusan binatang bertubuh besi berjejer mengantri. Bagi yang tak sabar, mencoba menyalip dari kanan atau kiri. Tett..tett..anjing..pukimak kau, segala caci maki dan kata-kata kebun binatang terucap. Anehnya, kata-kata kasar itu bukan hanya terlontar dari bocah bertubuh ceking yang menawarkan ojek payung, atau bapak penjual rokok dengan tangan bertato, tapi juga dari pria berdasi di dalam mobil mercy. “Ah, apa mungkin mulut pria itu tak sempat mengecap bangku sekolahan.”

Tiara diam, seharusnya dia berada dibawah sana berjibaku melewati kemacetan Jakarta. Tapi ada sesuatu yang menahannya disini, di dalam ruang 3x6 berwarna jingga dengan pintu berwarna cokelat.

Ia menyukai jingga, sebagaimana ia menyukai senja. Semburat yang memberikan langit warna berbeda. Dimana ada senja, disitu ada keping merah jambu yang turun perlahan, pelan-pelan dia tenggelam dan akhirnya hilang dibalut malam.

Tak ada yang tahu kapan pemandangan senja kembali. Tiara jadi berpikir, mungkin itu yang membuat Sukab jadi kalap untuk memotong senja dengan pisau lalu menempelkannya pada sebuah kartu pos, dan mengirimkan pada kekasihnya.

Tetapi sayangnya senja itu sampai terlambat karena tukang pos tergoda untuk membukanya, dan tenggelam di negeri senja hingga ribuan tahun. Dan lebih menyakitkan lagi, perempuan itu tidak mencintai sukab.

“Sukab tidak salah, demikian juga tukang pos itu, keindahan senja memang luar biasa, bahkan membuat buta dan menuntut sebuah kegilaan. Kegilaan sama akan kau rasakan ketika jatuh cinta,” tutur Tiara disuatu ketika.

Kegilaan yang sama memacu Romeo dan Juliet, serta Roro Mendut serta Pronocitro menjadikan mati bersama sebagai sesuatu yang indah. Beratus cerita, beribu lagi muncul sebagai ekspresi dari perasaan cinta.

Tapi bagaimana bila cinta itu tak berbalas, seperti cinta Datuk Maringgih pada Siti Nurbaya atau cinta Brutus pada Olive. Adakah yang mau tahu perasaan mereka, rasanya tidak, orang lebih suka membahas cinta yang berakhir bahagia, tak ada tempat untuk memikirkan nasib cinta yang bertepuk sebelah tangan.

******

Mayang menatap genangan air di tepi jalan, begitu deras, memaksa mengalir kedalam got-got penuh sampah. Diatasnya tampak sekelompok anak bertelanjang dada bermain bola, cipratan air berwarna cokelat tua itu seolah ramuan bisa membuat mereka tertawa.

Mereka basah, dingin dengan sigap merayap di tubuh ceking berwarna legam. Mayang tak yakin perut-perut buncit itu telah penuh diisi nasi, ia lebih yakin jika perut-perut buncit itu berisi cacing. Tapi Mayang melihat mereka bahagia, tak seperti dirinya yang meskipun kering dan hangat, tapi tetap saja seperti ruangan hampa udara.

Telepon genggam Mayang berderit, ia pun kembali terhempas ke dunia nyata.

“Aku mau ke Yogya minggu depan”

“Ngapain?”

“Ketemu kamu”

“Jangan, nanti saja biar aku saja yang ke Jakarta”

“Tapi aku kangen kamu”

“Aku juga kangen,tapi..”

Tut..tut..tut baterai yang habis menutup paksa pembicaraan dengan tidak sempurna. Mayang kembali diam, ada riak-riak yang bergelanyut dibenaknya.

“Ke stasiun Pak” ujarnya memerintah supir.

*******

Dewa menatap langit-langit kamar bertabur glow in the dark. Hanya langit-langit bukan langit yang bertabur bintang. Tak ada cahaya putih bulan, cuma cahaya lampu neon yang menyelinap dari balik tirai jendela.

“Kamu mikirin dia” tanya gadis dalam peluknya.

“Tadi siang aku nelpon dia”

“Terus”

“Dia mau ke Jakarta”

“Wah berarti aku nggak bisa nginap lagi disini dong”

Dewa tak menjawab. Diciumnya rambut si gadis.

Si gadis menghela nafas. Dewa bisa mendengar ada luka disana.

Dipereratnya pelukan ketubuh si gadis. Kulit yang telanjang saling bersentuhan, birahi pun terpercik. Si gadis mencium bibir Dewa.

“Ayo tidur besok kamu harus wawancara” kata Dewa menghentikan saat bibir si gadis mulai merambat ke dada.

Si gadis langsung berbalik. Api birahi serta merta padam. Bulir bening mengalir dari kedua matanya yang legam.

*******

Tiara memandang lekat-lekat perempuan dihadapannya, seakan ingin menguliti apa yang ada di setiap incinya. Legam matanya jelas memancarkan sebuah luka bercampur tanya yang membaluri hatinya. Apa yang dimiliki perempuan ini, sehingga laki-laki itu betul-betul bertekuk lutut, apakah ia Medusa dengan hiasan ular di kepala ataukah Dewi Sri, yang menentukkan kesuburan padi.

“Bisa kita mulai wawancaranya?” tanya perempuan itu sembari menatap mata Tiara. Tiara tahu jawabannya. Perempuan itu Medusa, ia bisa melihat ada bisa disela giginya.

Tiara yakin dibalik rambutnya yang terurai panjang bersembunyi ular-ular kecil yang mematikkan. Pasti, salah satu ular itu yang menghisap seluruh cinta dalam tubuh Dewa dan tak menyisakan setitik pun untuk Tiara.

Tiara yakin dan ia benci itu. Ular-ular itulah yang menemani Dewa tidur tadi malam. Ular-ular itulah yang mencium serta melumat habis bibir Dewa. Tak hanya itu Tiara yakin ular-ular itu pasti nakal, mereka akan menyusup ke balik selimut lalu masuk diantara dua selangkangan dan menghisap sari-sari kehidupan Dewa sampai kering.

Tiara yakin, namun ia tak bisa mencegahnya. “Apa yang membedakan novel anda dengan novel lain yang spernah ada,” hanya itu yang terlontar dari bibirnya.

*******

“Tadi aku diwawancara perempuan bermata legam sama seperti lukisanmu, entah mengapa perasaanku yakin kalau kau mengenalinya”

Dewa diam. Ia tahu perempuan bermata legam itu Tiara, sama dengan perempuan dalam lukisannya.

“Ada banyak perempuan bermata legam di Jakarta”

“Tapi entah mengapa aku yakin dia yang ada dalam lukisanmu”

“Kau cemburu?”

“Iya, kau tahu betapa aku mencintaimu”

“Tapi aku tak pernah mengeluh, meski aku cemburu dengan suamimu” ujar Dewa datar.

Mayang membuang muka keluar, dilihatnya hamparan langit jingga yang membentang. Pemandangan sama tengah dinikmati Tiara dari balik jendela.