Rabu, 28 Mei 2008

Lelaki dan Senja



Jendela messengerku berkedip, tanda ada pesan masuk. Aku melirik dan kutemukan sebuah nama asing tertera disana, lelaki senja . Di dorong rasa penasaran segera ku klik kotak messengerku.

Mengejutkan, kutemukan sepotong senja disana. Senja kemerahan, seperti pipi perawan yang habis dicium pacarnya lengkap dengan deburan ombak, pasir putih serta aroma khas pantai. Alamak, Sukab-kah yang memotong mahakarya ini untukku?.

Pasti bukan, ujarku dalam hati. Pertama aku tak mengenal satu pun pria bernama Sukab. Nama Sukab yang kutahu hanya lelaki dalam cerita-cerita Seno Gumira Ajidarma, tapi dia pun sudah mencintai perempuan lain bernama Alena. Lalu adakah Sukab lain yang menggilai senja dan memotongkannya untukku?

Untuk tahu jawabannya ternyata aku tak perlu menunggu lama, kotak messengerku kembali diketuk.

Hallo nona, aku tahu kau menyukai senja, makanya kukirim sepotong senja untukmu,”

Aku tersenyum. Sudah lama tak ada yang berlaku manis seperti itu kepadaku. Tanpa menunggu lama kami pun saling bertukar cerita. Mulai dari nama, usia, tempat tinggal hingga ukuran celana. Saking asyiknya sampai aku lupa bertanya dari mana dia tahu aku menyukai senja.

******

Dalam waktu singkat lelaki senja itu pun masuk dalam kehidupanku. Bergabung meniupkan mantra-mantra ritmis ke relung hatiku dan aku suka itu.

Kau hanya perempuan kesepian yang haus kasih sayang dan belaian di selangkangan

Mungkin komentar teman itu ada benarnya. Aku memang perempuan yang sering merasa gatal pada selangkangan, tapi kalau hanya sekedar alasan birahi tentu bukan dia yang kupilih.

Bercinta bagiku sama dengan memilih makanan. Walau terkesan sembarang, sebenarnya banyak kriteria yang harus dipenuhi, mulai dari penyajian, rasa hingga selera. Efek samping juga harus ditimbang masak-masak, percuma kalau perut kenyang kalau makanannya bikin kolesterol atau darah tinggi dan akhirnya Cuma bikin cepat mati.

Dalam bercinta pun menganut prinsip yang sama. Keamanan nomor satu, pakai pengaman demi masa depan. Bukan hanya menghindari kehamilan, tapi juga agar terhindar dari penyakit menular seksual.

Penyakit menular seksual memang jarang yang mematikan, tapi sangat memalukan. Saat pergi kedokter kelamin, dia tak langsung menghujatmu. Namun sembari memberi antibiotik dia akan menghujanimu dengan ribuan anak pisau yang secara otomatis keluar dari matanya.

Tanpa konfirmasi terlebih dahulu, dia akan langsung menempelkan stempel penzina dikeningmu. Belum lagi tanpa merasa risih dia akan berbisik-bisik dengan suster sambil melirik kearahmu, seolah mereka hakim berahlak lebih baik dan berhak merajammu.

Ketika kriteria tersebut terpenuhi belum tentu percintaan serta merta dapat terjadi. Bisa saja walaupun perutku keroncongan setengah mati, bisa saja lidahku enggan mengunyah makanan yang tersaji. Balik lagi ke masalah selera, bisa saja yang tersaji makanan eropa sedang saya sedang ingin makanan sunda. Atau bisa saja yang tersedia kambing guling sedangkan saya vegetarian.

Namun bisa saja terjadi, perutku lapar setengah mati tapi aku tak menemukan secuil pun remah roti. Pasti aku akan gigit jari atau mengandalkan daya khayal tingkat tinggi dengan membayangkan restoran mewah bercitra rasa tinggi dengan pelayanan nomor wahid. Aku pun masturbasi.

Kembali pada lelaki senja, berwisata seks dengan dia tak ubahnya makan nasi goreng dipinggir jalan. Tak ada yang istimewa, entah rasa ataupun penyajiannya. Hanya memberikan rasa kenyang, tanpa meninggalkan kesan.

Secara kasat mata, lelaki senja bukan sosok yang sedap untuk dipandang. Kulitnya hitam gersang terbakar matahari, rambutnya ikal tak beraturan pokoknya bukan gambaran pria-pria di dalam iklan celana dalam yang memamerkan ketampanan serta atau maskulinitas.

Namun sesuatu hal yang biasa itu berhasil menyihirku. Bagai sabu yang merangsang neuron diotakku, aku selalu rindu ketika tak bercumbu. aku sendiri tak hapal apa yang kurasa, aku tak terlalu pandai untuk mengurainya dalam bentuk cerita.

Mungkin kau jatuh cinta seperti cerita syair lagu-lagu pop yang diputar ditoko-toko cina, kata seorang teman.

Entahlah, ujarku membatin. Bukan aku tak mau berbagi, bukan juga karena aku ingin menyimpan cerita ini sendiri. Lalu melumatnya hingga berkeping, sehingga tak meninggalkan jejak dan hanya jadi tahi.

Mungkin cinta bagiku hanya celoteh omong kosong yang ada ditelenovela. Aku memang sering bercinta, tapi aku sudah lupa rasanya jatuh cinta. Semenjak hatiku diamputasi, aku mengunci cintaku di gudang belakang.

Diruang yang gelap dan pengap itu cinta kubiarkan sendiri, tak pernah kukunjungi. Mungkin hanya debu dan cicitan tikus yang menemaninya atau mungkin menggigitnya. Biar cinta itu sakit tipes atau hepatitis lalu mati, batinku.

Aku tak tahu kabar cintaku sekarang. Aku sempat mau menyuntik mati, namun seorang teman melarang, lumayan untuk koleksi. Marchendise, untuk gaya-gayaan biar orang tahu aku pernah punya hati.

Sudahlah, terlalu panjang untuk membahas soal cinta. Yang penting kali ini aku kembali orgasme diatas senja yang melengkung. Semburat merah tampak dari wajah kelelahan, mungkin karena terlalu lama mengejan. Dia diam, aku diam, kami sama-sama diam. Seakan kata-kata menjadi sesuatu yang langka, kekakuan yang aneh seusai bercinta.

Bukankah tapi kita bergumul, bersatu memilin rahasia pribadi. Bercumbu, mencoba menjadi satu

Kutatap mata lelaki senja yang tengah meringkuk dibalik selimut, ada damai yang selalu ingin kucium dan kukulum. Dia diam, aku diam, namun sesaat kemudian aku merasa tenggelam dalam lautan kata-kata.

Masih dengan tubuh telanjang aku berlari ke gudang belakang. Lalu ku buka gembok yang berkarat. Sarang laba-laba dan bau apek seolah menjadi sebuah upacara penyambutan, apakabar teman.

Aku menebar biji mata ke setiap pojok ruangan. Beberapa saat dan akhirnya kutemukan dia. Ku temukan disudut ruang yang penuh debu, hatiku yang sudah kehilangan bentuk.

Aku senang, hingga melonjak kegirangan seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan. Mungkin hati itu hanya tinggal secuil, itupun penuh cabik dan parut. Tapi tetap kuambil, bukan untuk kupasang lagi, melainkan kupersembahkan bagi lelaki senja.

Kuberikan hati itu pada lelaki senja, aku ingin dia memilikinya

******

Lama tak kudengar kabar dari lelaki senja. Sudah 120 dua puluh malam setelah hati itu keberikan hatiku padanya. Padahal dibalik dinding kamar aku menunggu. Sekarang bukan selangkanganku yang basah, tapi kedua bola mata. Kristal bening mengalir, membentuk aliran sungai.

Warna langit mulai kelam. Semburat senja perlahan menghilang dibalik mega. Dari jendela yahoo messenger kutunggu kabarnya. Tapi lelaki senja tak kunjung online. Hanya pesan pendek yang tertinggal.

Anakku sakit aku harus pulang

Jakarta 28 Mei 2008

Minggu, 25 Mei 2008

Mengapa Menikah Itu Penting?





Seorang teman akan segera meninggalkan Indonesia untuk melanglang buana ke tiga negara di Eropa. Bagi saya dan teman-teman di geng Nucep tentu itu sebuah hal yang membahagiakan dan berharap semoga keberuntungan itu menular pada kami.

Teman saya itu adalah seorang perempuan sederhana yang menyenangkan. Selama saya dua tahun tinggal dibelantara Jakarta, dia merupakan salah satu “tong sampah” bagi saya untuk menuangkan unek-unek yang sebagian besar nggak penting.

Terus terang saya merasa kehilangan dan takut apakah saya akan menemukan teman sebaik dia dikemudian hari. Apabila tidak tentu saya harus menyediakan anggaran khusus serta merogoh kocek lebih dalam untuk sekedar curhat dengan dia yang berada di benua berbeda.

Suatu siang yang ketika mood saya tdak begitu baik, beberapa geng Nucep asyik berdiskusi –bahasa yang lebih sopan untuk tidak menyebut bergosip- masalah hubungan teman saya itu dan pacarnya saat nanti dia berangkat ke Eropa.

Teman saya mengatakan, ia dan pacarnya akan segera bertunangan. Hal itu bertujuan agar ada sebuah ikatan yang pasti antara mereka. Tetapi anggota pertama –perempuan yang akan segera melepas masa lajangnya Juli mendatang- menyarankan tidak setuju. Dia menyarankan agar teman saya itu untuk langsung menikah. Dia beralasan, bertunangan tidak menjamin langgengnya sebuah hubungan, apalagi jika jarak yang membentang cukup jauh.

Anggota lain –perempuan yang akan melepas masa lajangnya akhir tahun ini- mencoba menganalisis dari sudut psikoanalalisis. Dia menilai teman saya ini belum siap dan belum cukup yakin dengan pasangannya. Untuk itu dia menyarankan teman saya untuk tidak usah bertunangan saja. “Siapa tahu di Eropa lo ketemu yang lain, lagian tunangan itu nanggung,” ujar dia.

Pertanyaan muncul dibenak saya, mengapa menikah menjadi topik yang sering didengungkan ketika perempuan menginjak usia 25 tahun. Mengapa mereka seolah merasa menikah adalah sebuah tahap untuk mencapai kesempurnaan dan tanpa itu mereka bagai malaikat yang kehilangan sayap.

Tentu saya tidak mengklaim pemikiran mereka salah. Perempuan berhak menentukkan pilihan hidupnya, seperti saya yang memilih untuk memposisikan pernikahan adalah sebuah hal yang tidak penting.

Kalau disodori pertanyaan kapan saya menikah maka saya akan menjawab belum tahu. Jawaban yang tidak cerdas karena memang saya belum menemukan jawaban yang cerdas kenapa saya perlu menikah.

Alasa pertama, saya yang tidak cerdas ini menilai sebagai manusia saya pencapaian belum apa-apa. Secara materi, dibandingkan teman SMA saya yang bekerja di perusaahan tambang tentu penghasilan saya tidak sampai sepersepuluhnya.

Kedua, secara karya, saya belum menghasilkan buku atau film yang layak di apresiasi. Seorang teman menyebut saya sebagai penulis pemula yang karyanya harus banyak direvisi, dan tentu saja saya sadar akan hal itu.

Ketiga, saya juga merasa belum pernah membahagiakan kedua orang tua saya. Kedua orang yang dengan ikhlas membesarkan saya dengan kebandelan-kebandelan dan mau menerima saya apa adanya. Masa saya belum membahagiakan orang yang memelihara saya dari lahir, sudah harus membahagiakan orang lain –orang tua serta keluarga suami saya-

Alasan keempat banyak yang belum saya capai. Saya masih ingin menjelajahi banyak tempat, tanpa harus dibebani pikiran bagaiman anak saya dirumah atau apakah suami saya berselingkuh dengan sekertarisnya.

Kelima, saya masih mau mencoba kebandelan-kebandelan lainnya. Saya tidak ingin bernasib seperti pacar teman saya yang notabene adalah istri orang. Saya ingin menjadi istri yang baik ketika saya menikah kelak –itu juga kalau saya menikah-. Pepatah mengatakan, salah satu alasan kenapa orang selingkuh ketika sudah memiliki pasangan adalah karea dia tidak puas dengan masa mudanya, -pepatah yang dibuat tanpa melalui pengujian atau survey-

Alasan keenam karena saya belum percaya dengan sebuah komitmen. Bahkan untuk sekedar berpacaran. Entah kalau ketidakyakinan tersebut dipicu karena saya belum bertemu laki-laki yang tepat. Only heaven know

Alasan terakhir karena saya baru berusia 23 tahun. Seorang teman yang berusia 35 tahun mengatakan, kamu tiak akan berbicara seperti itu bila sudah berda pada posisi saya. Entahlah, semoga menikah tidak menjadi kewajiban bagi saya dan saya harus menikah karena usia saya sudah kepala tiga. Atau saya menikah karena takut dicemooh perawan tua –come on apa yang salah dengan perawan tua-

Saya ingin menjadikan menikah atau tidak adalah sebuah pilihan, pilihan yang diambil dengan sadar bukan karena keterpaksaan. Saya akan menikah karena saya perlu dan sekarang saya belum merasa perlu.

Jumat, 16 Mei 2008

Mari Mengimpor Hantu Ke Cannes


Film Indonesia singgah ke Festival Cannes, tentu itu sebuah kabar yang membanggakan. Tidak hanya bagi insan perfilman, tapi juga bagi saya yang nonton film sebulan sekali saja belum tentu J.

Dengan semangat empat lima saya pun mendatangi konfrensi pers yang diadakan di Gedung Departemen Pariwisata itu. Agak terlambat memang, karena sebelumnya saya harus berjibaku menembus belantara Jakarta yang penuh sesak.

Hadir dalam konpers tersebut, beberapa produser yang diimport dari India, Menteri Kebudayaan Jero Wacik, Irwansyah serta Sheila Marcia Yoseph. Dengan bangga Pak Menteri mengatakan akan mengirim 23 film Indonesia ke ajang bergengsi tersebut.

Namun sesaat kemudian kebanggaan saya perlahan memudar, berganti kening yang mengeryit dan tanda tanya besar ketika saya tahu film macam apa yang dikirim. Anda tertarik untuk tahu, baiklah akan saya sebutkan, mulai dari 40 Hari Bangkitnya Pocong, Hantu Ambulance hingga Kereta Hantu Manggarai.

Dari sekian banyak daftar panjang film horor Indonesia, saya baru menonton dua judul –itu juga karena premier gratisanJ-, Kereta Hantu Manggarai dan Hantu Pocong Perawan.

Film Hantu Pocong Perawan bisa dikatakan 90 persen menjual sensualitas Dewi Persik. Hampir sebagian besar film diisi oleh adegan mesum yang tidak pada tempatnya, yang kalaupun dihilangkan tidak menghapus esensi cerita.

Diawal film anda sudah disajikan adegan Dewi Persik bergumul didalam air dengan Ramon Y Tungka. Pemilik goyang gergaji itu hanya mengenakan bikini, saya rasa bagian awal sudah cukup membuat otak anda ereksi.

Tapi itu baru awal, selanjutnya anda akan terus dibombardir dengan adegan-adegan “panas” yang membuat selangkangan basah. “Cukup untuk bahan onani seminggu,” ujar seorang teman yang duduk disebelah saya.

Mulai dari skenario hingga kostum yang digunakan saya rasa tidak masuk diakal. Selama saya menyandang status mahasiswa selama 4,5 tahun, saya belum pernah melihat mahasiswi yang menggunakan baju seminim yang digunakan Dewi Persik.

Entah kalau logika yang mati menjadi salah satu syarat film horor Indonesia. Tapi saya yang sama sekali tidak pernah mendapatkan pendidikan seni peran menilai para pemain dapam film ini tidak berakting, kalau mau berbelas kasihan saya menganggap mereka hanya mencoba berpura-pura.

Sampai film berakhir saya masih bertanya, dimana letak keseraman filmnya, bukankah yang saya tonton ini film horor. Mungkin kalau bisa pocong akan protes karena namanya dicatut jadi judul film tadi dapet scene ga lebih dari 1/12 film.

Beralih ke Film Kereta Hantu Manggarai, walaupun film ini tak separah film pertama tapi tetap saja saya melihat ada sebuah logika terputus. Tapi film ini cukup membuat saya takut ke wc pada malam hari selama seminggu J.

Ternyata selain mengimpor TKI, Indonesia juga mengimpor hantu. Dapat dibayangkan bagaimana mahluk-mahluk dari dunia lain itu wara-wiri di Red Carpet Cannes. Tapi mungkin sebelum membayangkan hal itu aku harus membayangkan terlebih dulu bagaimana para juri yang pastinya bule itu menterjemahkan apa yang dimaksud pocong.

Entah apa yang ada dibenak Pak Menteri mengirim film-film tersebut. Padahal saya rasa masih ada film yang masuk dalam kategori bergizi. Entahlah..

Maaf, Tak Ada Cinta



Aku tak bisa pergi, ujar perempuan itu dengan pandangan tergugu, entah menatapku atau ke arah dinding putih yang membentang kosong. Mata sayu itu tampak begitu lelah.

Untuk apa lagi, kataku. Aku masih mencintaimu, tukasnya lemah seakan seluruh energi yang dimilikinya terhisap habis oleh bumi.

Rasa itu hanya akan mengulitimu, membuat kau jatuh dan terluka, dan kau tahu aku tak mau itu terjadi kepadamu.

Aku tak tahu, ujarnya. Bibir indah itu kembali terkatup, bibir yang sering mengundang birahi dan decak iri. Seandainya aku bisa memilih, aku pun akan mengatakan tidak, ujarnya lirih.

kuterjemahkan bisu itu menjadi bait rajutan kata-kata. Membisikan sebuah rahasia yang membuatku semakin ngeri ketika ku telusuri setiap inchi yang terpahat dalam dinding-dinding malam.

Seakan merasuki sebilah desah gelisah dalam kubur yang telah terbangun berabad silam. Aku diam, dia diam, kami pun bisu sama-sama terkurung dalam labirin pikiran masing-masing.

Yang kutakutkan terjadi, seperti matahari yang menanam takut-takut pada hemofili. Dia mencintaiku sementara aku tidak.

Ah, perempuan, desahku, andai dapat kubagi secuil rasa itu untukmu. Pasti sudah kucungkil dari nukleus yang paling dalam dari inti sel tubuhku. Tapi aku tak bisa.

Diam masih menggenang diruangan empat kali empat. Dimana kerongkongan terasa tercekat. Senja yang mengantarkan sebuah kuning, namun bukan harapan, tapi luka.

Jujur aku juga tak ingin melihat keping merah jambu itu terkoyak. Apalagi akal sehatku berkata dia begitu menggoda. Ia pantas, bahkan sangat pantas dicintai. Tapi bukan olehku.

Dia berada diantara gemerlap bintang-bintang hangat. ia terbang selamanya di langit beludru gelap Tapi aku, grafitasi sialan menghempaskannya ke lembah.

Puih aku hanya bisa berkata seandainya aku bisa mencintai seorang perempuan sebagai seorang kekasih. Sementara aku juga seorang perempuan. Perempuan yang tenggelam dalam sebuah gerimis yang tercetak miris.

Topeng



Ia duduk didepan cermin besar. Perempuan paruh baya yang masih menyisakan gurat-gurat kecantikan. Wajahnya pucat pasi, seakan tak ada setetes pun darah mengalir didalamnya. Matanya yang sayu memandang kosong kedalam cermin seolah ada dunia lain disana.

Putaran waktu sepertinya telah meninggalkan parut, tidak hanya diwajah atau kulitnya yang mulai mengkerut seperti kulit jeruk, tapi juga dihatinya. Rongga didadanya seolah kosong, karena cabikan detik demi detik yang terus berlari meninggalkan sejumlah luka menganga.

Dari dua pelupuk matanya mengalir sungai kecil. Bulir demi bulir mengalir lembut, seperti alunan musik jazz favoritnya. Tunggu, ini bukan pemandangan biasa. Bukankah sorot itu yang biasa memandang begitu remeh pada dunia. Bukankah sorot itu yang selalu menengadah seolah menantang angkuh.

Dibelakang perempuan itu tergantung topeng berwarna keemasan. Begitu anggun, begitu mahal. Ya, itulah wujud yang biasa aku lihat sebelumnya, wujud dingin bercap darah biru lengkap dengan gengsi yang menjulang tinggi. Golongan kaum terhormat yang terbiasa wara-wiri ditempat-tempat berkelas dengan pelayanan nomor satu. Bukan tampang kuyu tak berpengharapan seperti yang terpantul dikaca.

Dimana suara lantang yang menggelegar yang biasa aku dengar. Bicara soal politik, idealisme dan segala omong kosong tentang negara yang hampir bubar. Dimana dongeng pengantar tidur tentang negeri yang makmur yang biasa dia elu-elukan?. Mengapa yang tersisa hanya suara rintih dan isakan tertahan, seperti tikus mencicit.

Disebelah kiri perempuan itu terlentang ranjang berukuran raksasa. Diatasnya seonggok daging berpenis tengah mendengkur seolah meneriakkan petualangannya diatas peraduan tadi malam. Tubuh tak berbaju itu tampak tak terusik oleh gigitan pendingin ruangan.

Malam tadi mereka berbagi sepi, malam tadi rintihan dan desahan seolah menjadikan mereka bagian tak terpisahkan..rela berbagi walau hanya seiris cabe yang melekat digigi

Malam tadi perempuan itu merasa begitu bahagia. Bukan hanya karena sekedar sentuhan lembut dipayudaranya yang mulai mengendur atau disekitar selangkangannya yang tak lagi basah. Yang membuatnya bahagia adalah tadi malam laki-laki yang lebih pantas jadi anaknya itu, mengusir sepi-sepi yang berterbangan.

Namun itu semua hanya untuk sementara waktu, keluar dari ruangan ini keduanya akan kembali menjejakkan kaki ke dunia nyata. Dimana nyamuk-nyamuk sepi berkeliaran untuk menggigit.

Menoleh ke laki-laki yang berusia setengah dari umurnya, perempuan itu kembali tertegun. Air mata keperempuanannya kembali menitik. Mengapa malam tidak mendiktekannya secara sempurna, mengapa seperti laki-laki itu harus seperti bajingan yang lain. Datang untuk menguapkan malam, berbagi bait puisi basi lalu pergi seperti hantu dipagi hari.

"Bukan karena kelaminku perempuan maka buatku semua lelaki adalah bajingan."

Tapi jalan hiduplah yang mencipta. Pengalaman berkali dikhianati membuat perempuan itu sakit hati. Bahkan dokter memutuskan, hatinya yang membusuk harus diamputasi. Padahal menurutnya ia sudah cukup berbaik hati, ia sematkan setiap hela napas pada laki-laki. Ia titipkan hangat ketika matahari mencongkel pagi. Tapi yang hanya perih yang ia nikmati.

Senyap tanpa wujud. Desah nafas dan detak jantung: ritmis menawarkan kabut-kabut magis. Tak ada pilihan, perempuan itu harus memakai lagi topeng keemasannya. Disekanya air yang menetes dari pelupuk mata. Bayangan dicermin berganti, kini kokoh laksana kuda sembrani. Lalu perempuan itu bergegas, meninggalkan segepok uang diatas kasur dan pergi. "Apa maumu selain tubuhku, bajingan?" tanyanya didalam hati.

Awal 2008- disaat berenang dalam bimbang

Kamis, 15 Mei 2008

Aku , Ia dan Dia


Cerpen seorang pemula, katamu

Ia

Sendiri, Aku duduk termenung disudut cafe di daerah Thamrin, tanpa Ia ataupun Dia. Dihadapanku tersaji secangkir cappucino hangat, dengan uap yang masih mengepul, sangat menggoda untuk dihirup. Disekitarnya, ada dua cangkir kosong dengan sedikit sisa cairan yang sama. Sementara padanannya sepotong chesse cake masih tersisa setengah, entah kenapa aku tak begitu berharsat untuk menghabiskannya.

Asbak dihadapanku juga sudah penuh dengan berpuluh-puluh puntung rokok. Entah untuk yang keberapa kuselipkan benda berwarna putih itu diantara bibir tipisku. Kuhisap dalam-dalam, kemudian kuhembuskan asapnya yang berbentuk lingkaran-lingkaran kecil ke udara.

Arloji dilenganku sudah menunjuk pukul empat, dengan kata lain sudah dua jam aku duduk dicafe ini. Tapi Ia yang kutunggu belum juga menunjukan batang hidungnya. Rasa tak sabaran mulai menjalar. Tapi setidaknya, lukisan rinai hujan diluar kaca jendela, memberikanku sedikit alasan mengapa Ia tak juga datang.

Dua puluh lima menit kemudian, Ia menampakkan diri dari mulut pintu cafe. Namun, kemunculannya tak membuat api amarahku menguap. Seperti biasa tanpa perasaan berdosa Ia mengecup keningku, lalu menarik kursi disampingku. Terlambat seolah menjadi nama tengah yang tak bisa Ia tanggalkan.

“Lihat kasus Eddie Widiono di SKP3,” kata Ia sembari menunjuk headline sebuah surat kabar.

Aku hanya membisu penantianku selama dua jam setengah jauh lebih penting untuk dibahas daripada penyidikan kasus korupsi pejabat yang dihentikan dengan alasan tidak cukup alat bukti.

“Sudah kuduga sejak awal kasus ini memang bau amis,” ujar Ia berpolah laksana seorang pengamat.

Aku tetap bisu, wajah ini semakin kutekuk. Tapi, sama seperti yang dulu-dulu, Ia selalu tak peka.

“Kau kenapa aku sudah datang jauh-jauh, hujan pula malah kau sambut dengan wajah cemberut,” ujar Ia, kurasa sudah mulai sadar dengan ketidaksenanganku.

“Jam berapa ini” kataku mencoba bersabar agar lahar kemarahanku tak meledak.

“Jam lima, ada apa rupanya,”

Bomm, Amarahku memuncak mengeluarkan lahar panas yang seolah tak tertahan lagi. Ingin aku muntahkan dimuka Ia, sehingga Ia sadar ada pedih dan luka yang Ia pahat, tapi yang terjadi malah kristal bening menetes dari dua muara sungaiku.

Aku salah, ternyata Ia tak juga mengerti.

“Aku menunggumu sejak dua jam yang lalu,” pekikku

“Lalu?aku kan tak berjanji untuk datang, aku hanya bilang iya, lagipula kau kan tahu setumpuk kesibukkanku,”ujar Ia seolah tak terjadi apa-apa.

“Aku tak pernah penting buatmu,” kataku disela isak yang semakin mengeras.

“Kalau kau tak penting aku takkan kemari meninggalkan metting-metting pentingku,” ujar Ia.

“Aku tak sanggup,” ujarku

“Ya sudah, aku tak memaksa kau tetap dalam komitmen ini, kau bisa pergi kapan pun kau mau” kata Ia.

Sesaat aku terpaku, namun tak lama, kukumpulkan sisa tenaga yang kumiliki, mencoba bangkit dari kursi dan beranjak pergi meninggalkannya. Kuacuhkan rintik hujan membelai tubuhku dengan tak bersahabat. Dan lagi-lagi seperti yang dulu-dulu Ia tak berusaha menyusulku.

Di dalam taksi tangisku kembali meledak, aku begitu tak berdaya dihadapan Ia. Kuseka kristal bening bercampur air hujan yang membanjiri wajahku, aku tahu disaat-saat seperti ini aku butuh Dia.

Dia

Segera kutekan nomor telepon genggam Dia, yang sengaja tidak kusimpan didalam memori handphone karena takut Ia curiga, tapi begitu melekat didalam kepalaku. Dua kali kucoba, belum juga diangkat, baru yang ketiga kudengar suaranya diujung telepon.

“Ada apa Raya,” sapa Dia lembut seolah memahami gejolak perasaanku.

“Ia menyakitiku lagi,” ujarku.

“Kau bisa kemari kalau kau butuh aku,” kata Dia.

Segera ku perintahkan supir taksi untuk memutar arah menuju rumah Dia. Jalanan yang basah seakan tak menyurutkan niat masyarakat jakarta untuk keluar rumah. Jalanan tetap saja macet, dan taksiku satu diantara kendaraan yang merayap di aspal Jakarta, berusaha menembus kemacetan.

Sesaat kemudian aku sudah berhenti didepan rumah bergaya minimalis milik Dia. Aku langsung bergegas turun dan mengetuk pintu seakan tak sabar untuk menghambur larut dalam pelukan Dia.

Benar, Dia membuka pintu dan menyapaku dengan senyuman hangat.

“Kau basah Raya, masuklah biar kuambilkan handuk untuk mengeringkan tubuhmu,” ujar Dia. Aku pun duduk diruang tamunya yang asri, sesaat dia kembali membawa handuk dan secangkir coklat hangat.

“Coklat hangat, kurasa lebih baik, karena aku tahu kau sudah menegak bergelas-gelas kafein,” ujarnya lembut. Tak kuasa bendungan pertahananku pun jebol, bulir-bulir bening itu kembali tumpah dipundak Dia. Dan Dia pun membelai rambutku, memberikan semacam energi baru untuk bangkit.

Perempuan itu buat Ia

Aku mencintai perempuan itu, walau kuakui awalnya adalah ketidaksengajaan. Perempuan itu tidak cantik, jauh dari cintaku yang begitu. Namun ketika ia mampu menepis sepi-sepiku, rasa itu mulai tumbuh. Apalagi melihat kemandirian dan semangat hidupnya yang begitu besar, sehingga menular kepadaku yang hanya memiliki semangat hidup sebesar biji sawi.

Kuakui aku suka dengan tawa renyahnya, lepas seakan dialah pemilik dunia. Aku juga mulai candu dengan mata indah atau aroma tubuhnya. Singkat kata, ia mulai menyatu dalam detakku, perempuan yang selalu tergopoh, sehingga akhirnya selalu ketinggalan barang-barangnya.

Aku selalu tersenyum mengingat dia, karena sifat cerobohnya, hampir setiap hari perempuan itu kehilangan pulpen padahal sebagai seorang pewarta, pulpen adalah senjatanya. Entah sudah beberapa kali ia mengeluh karena handphone atau dompet raib dari tasnya.

Hanya saja, terkadang perempuan itu bisa menjelma menjadi sosok gadis berusia lima tahun yang akan menangis sekuat tenaga bila keinginannya tak terpenuhi. Egois dan keras kepala, itulah yang membuat aku tanpa sadar membuat carut dihatinya. Kerapkali ia tersedu karenaku, aku tahu dia luka.

Menyesal, rasa itu menyusup kedalam ragaku. Tapi perempuan itu tak pernah tahu, dia menganggapku keras bagai baja. Tidak perempuanku, aku lunak bagai lilin, yang mudah meleleh. Hanya saja aku laki-laki, lelaki tak boleh tampak lemah walau untuk sekedar menunduk.

Dia

Aku tak tahu kapan tepatnya dia masuk dalam kehidupanku. Yang pasti saat hubungan aku dan Ia, berubah seperti neraka, Dia muncul laksana malaikat Ridwan yang menghembuskan angin surga.

Dia yang selalu menentramkan gelisahku dan mendongeng tentang kerajaan utopia. Dan muncul sebagai Arjuna dalam mimpi burukku. Dia berikan aku secercah horizon harapan, yang mulai membuatku mabuk terbuai.

Tapi itu tak lama, Dia pun mulai menunjukan sifat alami seorang lelaki, dominan dan ingin menguasai. Bagai baginda raja, Dia mulai memberiku berbagai titah mulai dari hal sepele seperti menurunkan berat badan (Dia tak begitu suka dengan tubuh “berisiku”), mengubah cara bercandaku atau hal sepele lainnya.

Kenapa aku menyebutnya sepele? Karena menurutku yang paling berat adalah aku tidak selalu bisa mendapatinya disaatku butuh. Aku tak mempunyai otoritas menghubunginya bahkan untuk sekedar mengirimkan pesan pendek kepada Dia.

Aku tahu dan Dia sudah bercerita kalau ada perempuan lain disudut sana. Perempuan yang begitu Dia puja. Perempuan yang selalu Dia jaga seolah begitu rapuh, sehingga dapat terburai hanya karena terkena semilir angin.

Tanpa sadar Dia ikut menabur luka ..

Perempuan itu Bagi Dia

Perempuan yang menyenangkan, tapi sayang datang sedikit terlambat. Ia hadir saat hatiku sudah penuh sesak dengan nama-nama sehingga aku sedikit ingin muntah. Perempuan itu hadir disaat subuh, saat hari diselimuti kabut putih. Disaat aku tak bisa..

Aku lelaki pongah dengan tangan menyilang di dada. Aku berjalan dengan kepala menengadah. aku bersayap putih tapi aku iblis. Aku akan terus berjalan dengan mata-mata indah menawan pikiranku. Tanpa melihat ke luar, tanpa mendengar kegaduhan. Sendiri, sepi, punggung membungkung, tangan menyilang Sedih, dan siang pun bagai malam bagiku.

Tapi itu sandiwara perempuan, percayalah aku tak sekuat yang tampak. Tak mengapa bukan, sekarang kita semua sedang berlaga diatas pentas. Menjadi kau menjadi perempuan, aku sebagai laki-laki, kau menjadi wartawan, aku menjadi pelukis, menjadi pejabat, artis, pelacur semua sama..

Aku, Ia dan Dia

Seperti biasanya malam ini tampak pekat. Tapi tidak seperti biasanya malam kali ini kulalui tanpa Ia maupun Dia. Jujur aku masih rindu lengan Ia yang setia melingkar di pinggang sewaktu aku tidur. Atau cerita-cerita Dia tentang lembayung merah dikanvas langit. Tapi ada yang lebih baik dari keduanya, sendiri dan menapaki waktu tanpa Ia ataupun Dia.

Diakhiri dengan melankolis karena kamu sedang berenang dibenakku

Rabu, 14 Mei 2008

Trauma Selangkangan Film Indonesia


Hari masih muda, matahari masih malu-malu menyelinap masuk dari rongga jendela kamarku. Dengan kantuk yang bergelayut dipelupuk mata, kupaksakan untuk beranjak bangun dan memulai hari.

Setengah sadar, aku meraba ke samping tempat tidur untuk mencari telepon genggam. Ritual yang biasa kulakukan untuk memulai hari. Ternyata ada beberapa pesan pendek yang masuk ke benda kecil yang sudah menjadi kebutuhan primer bagi manusia abad 21.

“Kami mengundang rekan-rekan media untuk menghadiri selamatan film Anda Senang, Saya Loyo di Cafe Venezia Taman Ismail Marzuki Jakarta”

Pada pesan pendek tersebut juga dicantumkan para pemeran film tersebut yang akan hadir. Kebanyakan -untuk tidak menyebut semua- adalah artis kelas dua yang kualitas aktingnya dipertanyakan. Damn, batinku, seks lagi, seks lagi. Apa tidak ada masalah lain yang lebih penting untuk disampaikan, apa permasalahan bangsa ini hanya disekitar masalah selangkangan.

Sejak Quicki Express yang berkisah tentang agen penyedia jasa “gigolo” meraih kesuksesan –dilihat dari kacamata jumlah penonton-, sejumlah film maker seolah latah untuk membuat komedi seks. Lahirlah film-film yang menjual kekonyolan beraroma mesum seperti Extra Large, DO, Big Size Mas dan yang saat ini masih dicekal ML.

Dari segi cerita satu film dengan yang lain nyaris beda tipis. Rata-rata menjual lelucon yang ujung-ujungnya tak jauh-jauh dari ranjang. Memang tak bisa dipungkiri, menjamurnya film bergenre komedi seks banyak ditonton oleh penonton.

Tema seks dalam film Indonesia bukanlah cerita baru, bahkan bisa dikatakan sebagai lagu lama yang diputar ulang –semoga kasetnya bukan bajakkanJ-. Pada akhir 80-an hingga awal 90-an film indonesia dibanjiri oleh film yang menyuguhkan tontonan Sekwilda –seputar wilayah dada- dan Bupati –buka paha tinggi tinggi-.

Dibioskop-bioskop terpampang poster-poster film dengan judul “menyeramkan” seperti Bebas Bercinta, Ranjang Cinta, Gairah Terlarang, Gejolak Nafsu, Permainan Erotik, Sentuhan Erotik. Tanpa menoton aku rasa anda sudah tahu cerita macam apa.

Maraknya genre film erotis pun membawa angin segar bagi sejumlah artis bertubuh molek, mulai dari Sally Marcellina, Yurike Prastika, Gitty Srinita, Kiki Fatmala serta Ineke Koesherawati. Sedangkan untuk pemain prianya muncul nama Ibra Azhari –adik Ayu Azhari yang sedang menginap di Cipinang karena terjerat kasus narkoba-.

Namun euphoria itu hanya berlangsung sementara, beberapa waktu kemudian perfilman Indonesia mati suri. Banyak alasan yang menjadi penyebab matinya film Indonesia. Mulai dari menjamurnya TV swasta nasional, masuknya era VCD serta DVD sehingga penonton lebih nyaman nonton dirumah, serta keseragaman tema yang membuat para penonton bosan.

Di era berikutnya muncullah Garin Nugroho lewat film Cinta dalam Sepotong Roti. Warna baru yang coba dituangkan Garin memang tidak begitu mendapatkan sambutan yang meriah. Melalui bahasa yang berbeda film Garin dianggap terlalu larut dalam dunianya. Tapi tak dapat dipungkiri, sejak saat itu jantung film Indonesia mulai berdetak, meski masih sangat lemah.

Selanjutnya muncul film anak-anak Petualangan Sherina besutan sutradara Riri Riza. Film musikal yang diproduseri oleh Mira Lesmana tersebut berhasil meraup sukses dan menghantarkan Sherina menjadi artis cilik yang paling populer dimasa itu.

Seolah tak puas, diawal tahun 2000-an Mira melahirkan film Ada Apa Dengan Cinta yang mempopulerkan Dian Sastro serta Nicholas Saputra. Keduanya menjadi ikon remaja. Gaya berpakaian, bicara, rambut mereka pun menjadi trend setter dikalangan anak muda.

Gaya seragam sekolah Dian Sastro difilm tersebut yang mengenakan potongan baju junkies serta kaos kaki panjang ala pemain sepak bola menjadi seragam sekolah anak gaul dikota-kota besar pun mewabah.Dari situ arah perfilman Indonesia pun berubah. sinetron serta film bertema remaja merajalela. Para pemain yang sudah berumur tersingkir.

Gairah kebangkitan film Indonesia bangkit. Sejumlah sineas muda muda muncul memberikan semangat baru. sejumlah film bergizi diproduksi, sebut saja Opera Jawa, Nagabonar Jadi 2, Tiga Hari Untuk Selamanya, dll.

Namun belakangan ini arah trend kembali bertiup ke sekitar paha, dada dan ranjang. Atas nama pasar, keseragaman tema dicetak. Apa ini tanda malaikat maut tengah bersiap mencabut nyawa film produksi anak negeri? Semoga tidak.

Garin Nugroho Tentang Film, Pasar dan Bunuh Diri


Berbicara mengenai perfilman Indonesia, tak genap rasanya jika tidak menyebut nama Garin Nugroho. Anak dari pasangan Soetjipto Amien dan Mariah ini memang menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam membangkitkan kembali film Indonesia dari tidur panjangnya.

Namun siapa sangka jika pria yang terlahir dengan nama Nugroho Riyanto ini dulunya adalah seorang bocah pelupa yang kerap larut dalam dunianya sendiri. Pernah suatu kali, Garin kecil disuruh mengantarkan surat ke rumah seorang kerabatnya di Kampung Jagalan. Sadar akan sifat pelupanya, Garin pun membawa surat dengan cara menyelipkan surat itu dibibirnya.

Dalam perjalanan anak keempat dari delapan beraudara ini kembali asyik dalam dunianya. Alih-alih mengantarkan surat, Garin malah menonton pertandingan sepak bola di alun-alun utara Yogya. Parahnya lagi, bukan hanya "gagal" mengantarkan surat, usai menonton Garin pulang ke rumah jalan kaki. "Saya lupa kalau tadi pakai sepeda," kenangnya sambil tertawa.

Meski pelupa bukan berarti Garin bodoh, sejak SD ia tak pernah absen masuk dalam tiga besar di kelasnya. Terbukti setelah tamat sekolah, Garin berhasil masuk ke tiga universitas negeri UGM, IKJ, dan UI.

Bakat seni Garin sudah menonjol sejak kecil, hal itu tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya. Rumahnya yang berbentuk joglo sering dijadikan tempat latihan menari, menabuh gamelan, latihan musik-musik Barat, bahkan untuk pesta dansa.

Bagi Garin, film bukanlah dunia baru, sejak kecil pria kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 ini sudah menjadi penggila film. Lulus dari Jurusan Sinematografi IKJ tahun 1985, Garin mulai rajin membuat film dokumenter, beberapa di antaranya berhasil menyabet penghargaan. Gaung namanya pun semakin terdengar oleh khalayak setelah menyutradarai film cerita.

Sayangnya banyak pihak yang beranggapan jika film Garin terlalu berat bagi orang awam dan hanya pantas dilempar ke festival. Namun pria yang juga sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum UI ini menepis anggapan tersebut.

Ia mencontohkan, film Cinta Sepotong Roti dan Daun di Atas Bantal yang di terima semua kalangan masyarakat. Bahkan ia balik bertanya, siapa sutradara komesil Indonesia yang filmnya box office semua. "Mari kita lihat Rudi Soedjarwo, Nia Dinata, Mira Lesmana berapa persen film mereka yang box office, paling hanya 30 persen, sama seperti saya," ujar Garin dalam sebuah percakapan santai dengan Jurnal Nasional, di Batavia Cafe Jakarta (16/4).

Garin juga membuktikan, slogan inga-inga yang dibuatnya untuk iklan layanan masyarakat mengenai pemilu atau iklan Bank Indonesia, "3D", dilihat, diraba, diterawang, bisa dipahami bahkan cukup melekat oleh kalangan bawah sekalipun.

Ayah empat orang anak ini melihat, kelemahan film Indonesia hanya mengikuti satu jenis pasar. Padahal, menurut dia, hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap penonton yang pada akhirnya akan mematikan perfilman Indonesia. "Pasar itu terlalu kaya untuk kita rendahkan dan kita ikuti, para penciptanyalah yang seharusnya memahami manajemen ide" tuturnya.

Ia yakin setiap ide ada pasar tersendiri. Seperti film Rindu Kami Padamu, contohnya, di Indonesia hampir semua kalangan menyukainya, sementara di Eropa hanya kelas menengah saja, para seniman besarnya tidak terlalu suka melodrama. "Seperti saat kita membuat makanan saja, kalau orangnya terampil nggak perlu khawatir atau menipu diri sendiri.

Garin mengaku, dirinya bukanlah orang yang ambisius dari segi penonton. Ia tak berkecil hati ketika film Opera Jawa sepi penonton. "Di Eropa yang tingkat pendidikannya tinggi, produser saya mantan directur contempory art of London saja bilang, 'Rin pasarmu di sini hanya lima persen.' Masa saya harus maksa supaya film saya laku di Indonesia."

Bagi Garin mengukur kemampuan diri adalah suatu hal yang penting. Pernah suatu ketika, Raam Punjabi meminta masukkan Denias atau Opera Jawa yang dikirim ke ajang Oskar, dan Garin menjawab Denias. "Jadi orang itu ya mbok ngukur diri. Kalau Daun di Atas Bantal saya masukkan karena saya yakin akan masuk 20 besar, karena jenisnya sesuai dengan Amerika. Sebuah pemikiran sederhana, kenapa kira harus rakus," papar Garin.

Antara Slank dan Pramoedya

Berbicara mengenai karya berikutnya, saat ini Garin tengah menyelesaikan filmnya yang berjudul Under the Tree. Film yang dimainkan oleh Marcella Zaliaty, Nadia Shapira, serta Ikranegara ini rencananya akan diputar bulan Juni mendatang.

Garin bertutur, film terbarunya bercerita tentang cinta yang berbeda, tak sekadar hubungan laki-laki dan perempuan. Tak hanya itu, penonton pun akan dibawanya untuk merasakan apa yang disebut depresi hidup. "Sudah terlalu banyak film bahagia di Indonesia, masa tak boleh ada film yang bercerita tentang kesedihan," kata suami dari Riani Ekaswati.

Ia melihat, bangsa ini penuh bunuh diri baik ibu-ibu maupun anak-anak, nah bukankan sesuatu hal yang gila jika filmnya bahagia semua "Kadang-kadang kamu harus merasakan luka dan sakit, dengan itu kamu akan merasakan kehidupan. Itu yang penting dalam film-film seni," ujar Garin.

Berbeda dengan film-filmnya yang lalu, di film Under the Tree Garin menawarkan pola gerak kamera yang kontemporer, cerita yang berjalan cepat dan Pemandangan Bali yang tidak didapatkan dalam film-film lain. "Kalau nonton film saya pasti mendapatkan sesuatu yang baru, percaya sama saya," katanya berpromosi.

Selain menggarap Under the Tree, Garin juga tengah menyiapkan film musikal tentang grup musik Slank berjudul Generasi Biru serta film Bumi Manusia, yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Pramoedya Ananta Toer. "Under the Tree punya pasar sendiri, Generasi Biru punya pasar sendiri, Bumi Manusia punya pasar sendiri. Seluruh karya punya pasar, pasar itu terlalu luas jika dilihat hanya dari satu sudut pandang," urainya.

Mengenai Generasi Biru serta Bumi Manusia, Garin tak mau terlalu banyak angkat bicara. Hanya sebagai bocoran pada film Generasi Biru ia akan melibatkan sutradara muda untuk dapat feel-nya. "Saya adalah Slankers dan saya cinta Pramoedya," pungkasnya.