Minggu, 14 September 2008

Pria Bermata Kupu-kupu


pagi buta kamu sudah menoreh luka pada mata saya
kamu gores retina dan pupil untuk mengeluarkan kupu-kupu dari sarangnya
diterik siang kamu mulai memamah bibir saya
bukan dengan cinta, tapi dengan cuka serta retorika
pekat malam tak menghalangi lakumu mencongkel hati saya
bukan untuk dikoleksi, melainkan dibuang untuk makan anjing
sekarag hanya televisi di kepala saya yang masih nyala
semoga kamu tidak mencabut kabelnya

-andai kamu tak serumit rumus aritmatika-

Kamis, 04 September 2008

Gaun Pengantin


Aku pandangi gaun pengantin berwarna putih yang tergantung di sudut almari. Aku tersenyum. Sudah saatnya gaun tersebut bangkit dari tidur panjangnya. Inilah waktu yang tepat untukku mengenakannya. Waktu menghadiri upacara pemakaman kekasihku, Izal.

Kurasa kebahagiaan menjalar dalam rongga dada ketika aku menyentuhnya. Kebahagiaan itu bercampur dengan detak jantung yang berdebar-debar. Aku layaknya seorang perawan yang tak sabar menunggu upacara pemberkatan.

Debar itu terjadi karena aku ingin tampil sempurna. Aku ingin semua mata terbelalak dan semua lidah berdecak melihatku. Hal yang utama, aku ingin melihat Izal bahagia dihari terakhirnya melihat dunia.

Setidaknya Izal bisa tersenyum melihat orang yang dicintainya tampak cantik. Ia tentu tak ingin melihatku menghadiri upacara pemakamannya dengan mata sembab dan wajah awut-awutan. Aku paham, karena aku tahu betapa Izal mencintai kematian.

Bila kematian menjadi sajak sendu bagi kebanyakan orang, tapi bagi Izal kematian merupakan saat-saat yang paling dinantikan. Ketika orang lain menganggap kematian sebagai sesuatu yang mengerikan sehingga kedatangannya disambut dengan jerit tangis serta raungan, bagi Izal kematian merupakan saat yang paling membahagiakan.

Ketika orang lain memilih bersembunyi menghindari kematian, Izal malah mencoba untuk mengakrabinya. Bagi Izal bunyi sangkakala merupakan bunyi terindah yang pernah ia dengar, melebihi denting piano maupun gema saxsofons.

Dalam kematian Izal berharap dapat mewujudkan impiannya yaitu mendirikan kampung dari potongan kuku. “Apa mungkin aku membangun kampung dari potongan kuku Tya?,” tanya Izal sembari mengelus-elus kepalanya yang botak.

Aku kembali tersenyum. Pasti bisa Izal. Kau pasti bisa mewujudkan semua impianmu, bisikku lirih.

Aku begitu mengagumi dan mencintai segalanya tentang Izal. Mulai dari pemikiran, karya termasuk kepalanya yang botak hingga ujung kuku penuh kotoran yang akan dijadikannya bahan baku membangun sebuah kampung.

Kuku-kuku Izal lebih kuat dari baja. Ia memang bukan Gatot Kaca yang memiliki otot baja tulang besi, tapi dia adalah titisan Sarpakenaka, raksasa perempuan buah cinta Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi.

Tak seperti jabang bayi biasa, Sarpakenaka keluar dari rahim Dewi Sukesi berupa potongan kuku. Kuku yang keluar beraneka rupa mulai dari yang berukuran kecil, besar hingga sangat besar. Kuku yang keluar tak hanya berupa kuku manusia tapi juga kuku hewan, iblis dan malaikat.

Setelah bersentuhan dengan udara kuku-kuku tersebut kemudian bermetamorfosa menjadi bayi yang sempurna. Meski demikian Dewi Sukesi tetap merasa jijik, ia tetap tak mau menyentuh bayi Sarpakenaka.

Hal serupa dialami Izal, sejak lahir ibunya enggan menyentuhnya. Bahkan tubuh Izal yang masih merah dan belum membuka mata digelindingkan begitu saja, hingga sampai di depan pintu rumah yatim piatu.

Padahal layaknya Sarpakenaka, Izal lahir dari erangan-erangan serta cakaran-cakaran kuku yang bersumber pada buncahan birahi yang menggerogoti jiwa kedua orang tuanya. Tetapi kemudian Izal ditelantarkan dalam sunyi, tak ada erangan atau cakaran.

Izal terlunta, tumbuh menjadi manusia yang haus akan belaian. Ia berkembang tanpa mengenal cinta. Hingga suatu saat Izal berkenalan dengan birahi. Suatu perasaan nyaman ketika kedua selangkangan saling terpatri. Ketika itulah ruh Sarpakenaka merasuk dalam tubuh Izal.

Ruh Sarpakenaka menyebabkan Izal memiliki perasaan yang halus walaupun ia seorang laki-laki. Tentu perasaan halus yang dimaksud berbeda dengan tingkah gemulai para presenter yang sering wara-wiri di kotak televisi.

Meski tak pernah diajar, Izal memiliki tutur kata yang santun. Layaknya seorang kesatria ia selalu berbicara dengan nada lirih namun mengandung kewibawaan. Karisma Sarpakenaka membuat Izal banyak digemari kaum perempuan.

Di usia 25 tahun Izal menikah dengan kemanakan seorang penulis ternama. Cantik nama perempuan itu, nama yang sepadan dengan wajah yang dimilikinya. Resepsi berlangsung dengan meriah, maklum Cantik berasal dari keluarga terpandang.

Ratusan rekan maupun kerabat kedua mempelai datang menghadiri resepsi. Di hadapan Izal dan Cantik, semua undangan mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Mulut mereka berbuih mengumandangkan doa agar keduanya menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Tapi hidup tak semanis madu

Perjalanan rumah tangga Izal tak semeriah pesta resepsinya. Kecantikan dan harta ternyata bukan jaminan untuk mencipta kebahagiaan. Cibiran maupun lontaran iri menjadi makanan sehari-hari. Suara sumbang seolah menjadi tembakan senapan yang membabi buta, membuat luka dan mengalirkan darah.

Belum genap tiga bulan Izal memutuskan untuk membubarkan rumah tangganya. Dalam keadaan penuh luka ia pergi meninggalkan Cantik, meninggalkan apa yang disebut-sebut orang sumber kebahagiaan. Izal memilih untuk pergi dan mencari kebahagiannya sendiri.

Ketika kecantikan dan harta tak bisa Izal menahan dalam waktu lama, tidak juga kesederhanaan. Tak lama setelah berpisah dengan Cantik, Izal menikahi Kembang, gadis kampung asal Bekasi.

Dari Kembang, Izal mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sunya. Tetapi Kembang maupun Sunya belum bisa memberikan kebahagiaan bagi Izal. Ia pun memutuskan untuk kembali pergi. Sebagai bentuk tanggungjawab Izal meninggalkan seluruh hartanya untuk Kembang dan Sunya.

Bertahun Izal hidup sendiri, ia sadar pernikahan hanya menciptakan sebuah belenggu diri. Di mana sebentuk jiwa akan terkungkung dalam terali. Penikahan bagi Izal seperti orang yang merasa dirinya hidup bertetangga, padahal mereka berada dalam gerbong yang berbeda.

Untuk masalah birahi Izal lebih sering menyelesaikan di kamar mandi. Mencakar diri dengan kuku, lalu mengerang karena selangkangan yang tercekik muntah cairan putih. Bila ada uang lebih terkadang Izal suka ke Cafe Dangdut atau rumah bordil. Tapi ia lebih senang bermimpi tentang serat pakaian wanita Sarpakenaka.

Di salah satu cafe dangdut itulah aku bertemu dia. Dalam remang cahaya cafe, Izal tampak mencolok karena aku melihat ada matahari yang bersinar pekat di atas kepala Izal, tepat di bawahnya tampak dua ekor mata bintang serta sesungging senyum aneh.

Dari situ aku sadar, Izal memang matahari, pusat tata surya di mana planet-planet berjalan mengitarinya. Aku pun jatuh cinta dan tersihir oleh pesonanya. “Kau tahu di surga tangah musim kemarau,” ujarnya kala itu.

Tak lama kami pun menjadi sepasang kekasih. Tentu tanpa ikatan pernikahan. Agar dapat berjalan berdampingan dengan Izal aku harus rela membumihanguskan impian tentang pernikahan.

Tapi tak mengapa karena Izal masih mempersilahkanku tetap bermimpi tentang gaun pengantin. Bahkan tanpa ragu ia membantuku mewujudkan impian itu, bahkan ia juga terjun langsung merancangnya.

Maka jadilah sebuah gaun pengantin berwarna putih dengan sebuah sayap. Kenapa satu? Karena Izal mengumpamakan aku sebagai malaikat bersayap satu. Bukan karena aku lumpuh, tapi karena sayap yang satu lagi melekat pada tubuh Izal. “Kau bisa memakai gaun itu pada hari yang paling membahagiakan dalam kehidupanku yaitu pada saat upacara pemakamanku,” ujarnya pada suatu waktu.

Sejak bersama Izal jiwaku terbelah, sebagian bersarang di tubuhku dan sisanya dibawa oleh dia. Aku hanyut dalam ritmis magis sepi-sepi dunia Izal. Berkawan dengan sahabat karibnya yaitu kematian, sehingga aku dapat menjelaskan dengan gamblang bagaimana keadaan kerak surga dan kerak neraka.

Izal menjejalkan cerita tentang manusia fiksi dalam sel abu-abu, sehingga tak ada lagi ruang kosong dalam otakku. Tak ada kemuraman, selalu ada harapan, sama seperti yang didengungkan Tuhan dalam kitab suci.

Hampir seperempat abad gaun pengantinku tertidur dalam lemari. Meski keinginan memakai gaun pengantin menggetuk sanubariku, tentu aku tak pernah berdoa saat yang berbahagia bagi Izal itu datang dengan cepat. Seperti Sapardi, aku ingin mencintai Izal dengan sederhana.

Tanpa kami sadar roda kehidupan begitu kencang bergulir, mengubah detik menjadi menit. Mengganti menit menjadi jam, menyulap jam menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun dan tahun pun semakin menua.

Hari itu kutemukan Izal terpejam, tapi bukan tidur. Meski sunggingan aneh itu tetap mengulas bibir tebalnya, namun tak ada hembusan udara yang keluar dari lubang hidungnya. Kuperiksa denyut nadinya, kutemukan Izal mati.

Sesaat aku bingung apakah mesti berbahagia atau berduka. Sebagai kekasih Izal tentu aku berbahagia karena saat yang dinantikannya telah datang. Tetapi mengingat separuh hatiku yang bersemayam di tubuhnya, aku sedih bukan kepalang. Terbayang olehku sulitnya mengatur sepi-sepi yang akan menggerayangi malam-malamku selepas Izal pergi.

Ingatanku terantuk pada gaun pengantin dalam almari. Sudah saatnya gaun itu kukenakan. Aku dapat merasakan Izal juga merasakan hal yang serupa, ia sudah tak sabar untuk melihatku memakainya.

Gaun putih itu terasa sedikit sempit, maklum dua puluh lima tahun lalu tentulah tubuhku tak sebesar sekarang. Tentulah tak ada kerut atau tumpukan lemak yang mengganggu. Tapi aku tak peduli, sama seperti acuhnya aku menghadapi kenyitan kening orang-orang melihat penampilanku.

Aku hanya ingin tampil untuk Izal. Sosok yang kusayangi selama ini. Ketika tubuh Izal yang dibalut kain kafan dimasukkan dalam liang aku bisa mendengar sorak bahagia. Saat tanah merah menutupi liang ku dengar teriakannya, aku sampai pada tepi darimana aku tak mungkin lagi kembali.