Rabu, 14 Mei 2008

Garin Nugroho Tentang Film, Pasar dan Bunuh Diri


Berbicara mengenai perfilman Indonesia, tak genap rasanya jika tidak menyebut nama Garin Nugroho. Anak dari pasangan Soetjipto Amien dan Mariah ini memang menjadi salah satu tokoh yang berperan dalam membangkitkan kembali film Indonesia dari tidur panjangnya.

Namun siapa sangka jika pria yang terlahir dengan nama Nugroho Riyanto ini dulunya adalah seorang bocah pelupa yang kerap larut dalam dunianya sendiri. Pernah suatu kali, Garin kecil disuruh mengantarkan surat ke rumah seorang kerabatnya di Kampung Jagalan. Sadar akan sifat pelupanya, Garin pun membawa surat dengan cara menyelipkan surat itu dibibirnya.

Dalam perjalanan anak keempat dari delapan beraudara ini kembali asyik dalam dunianya. Alih-alih mengantarkan surat, Garin malah menonton pertandingan sepak bola di alun-alun utara Yogya. Parahnya lagi, bukan hanya "gagal" mengantarkan surat, usai menonton Garin pulang ke rumah jalan kaki. "Saya lupa kalau tadi pakai sepeda," kenangnya sambil tertawa.

Meski pelupa bukan berarti Garin bodoh, sejak SD ia tak pernah absen masuk dalam tiga besar di kelasnya. Terbukti setelah tamat sekolah, Garin berhasil masuk ke tiga universitas negeri UGM, IKJ, dan UI.

Bakat seni Garin sudah menonjol sejak kecil, hal itu tak terlepas dari didikan kedua orang tuanya. Rumahnya yang berbentuk joglo sering dijadikan tempat latihan menari, menabuh gamelan, latihan musik-musik Barat, bahkan untuk pesta dansa.

Bagi Garin, film bukanlah dunia baru, sejak kecil pria kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 ini sudah menjadi penggila film. Lulus dari Jurusan Sinematografi IKJ tahun 1985, Garin mulai rajin membuat film dokumenter, beberapa di antaranya berhasil menyabet penghargaan. Gaung namanya pun semakin terdengar oleh khalayak setelah menyutradarai film cerita.

Sayangnya banyak pihak yang beranggapan jika film Garin terlalu berat bagi orang awam dan hanya pantas dilempar ke festival. Namun pria yang juga sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum UI ini menepis anggapan tersebut.

Ia mencontohkan, film Cinta Sepotong Roti dan Daun di Atas Bantal yang di terima semua kalangan masyarakat. Bahkan ia balik bertanya, siapa sutradara komesil Indonesia yang filmnya box office semua. "Mari kita lihat Rudi Soedjarwo, Nia Dinata, Mira Lesmana berapa persen film mereka yang box office, paling hanya 30 persen, sama seperti saya," ujar Garin dalam sebuah percakapan santai dengan Jurnal Nasional, di Batavia Cafe Jakarta (16/4).

Garin juga membuktikan, slogan inga-inga yang dibuatnya untuk iklan layanan masyarakat mengenai pemilu atau iklan Bank Indonesia, "3D", dilihat, diraba, diterawang, bisa dipahami bahkan cukup melekat oleh kalangan bawah sekalipun.

Ayah empat orang anak ini melihat, kelemahan film Indonesia hanya mengikuti satu jenis pasar. Padahal, menurut dia, hal itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap penonton yang pada akhirnya akan mematikan perfilman Indonesia. "Pasar itu terlalu kaya untuk kita rendahkan dan kita ikuti, para penciptanyalah yang seharusnya memahami manajemen ide" tuturnya.

Ia yakin setiap ide ada pasar tersendiri. Seperti film Rindu Kami Padamu, contohnya, di Indonesia hampir semua kalangan menyukainya, sementara di Eropa hanya kelas menengah saja, para seniman besarnya tidak terlalu suka melodrama. "Seperti saat kita membuat makanan saja, kalau orangnya terampil nggak perlu khawatir atau menipu diri sendiri.

Garin mengaku, dirinya bukanlah orang yang ambisius dari segi penonton. Ia tak berkecil hati ketika film Opera Jawa sepi penonton. "Di Eropa yang tingkat pendidikannya tinggi, produser saya mantan directur contempory art of London saja bilang, 'Rin pasarmu di sini hanya lima persen.' Masa saya harus maksa supaya film saya laku di Indonesia."

Bagi Garin mengukur kemampuan diri adalah suatu hal yang penting. Pernah suatu ketika, Raam Punjabi meminta masukkan Denias atau Opera Jawa yang dikirim ke ajang Oskar, dan Garin menjawab Denias. "Jadi orang itu ya mbok ngukur diri. Kalau Daun di Atas Bantal saya masukkan karena saya yakin akan masuk 20 besar, karena jenisnya sesuai dengan Amerika. Sebuah pemikiran sederhana, kenapa kira harus rakus," papar Garin.

Antara Slank dan Pramoedya

Berbicara mengenai karya berikutnya, saat ini Garin tengah menyelesaikan filmnya yang berjudul Under the Tree. Film yang dimainkan oleh Marcella Zaliaty, Nadia Shapira, serta Ikranegara ini rencananya akan diputar bulan Juni mendatang.

Garin bertutur, film terbarunya bercerita tentang cinta yang berbeda, tak sekadar hubungan laki-laki dan perempuan. Tak hanya itu, penonton pun akan dibawanya untuk merasakan apa yang disebut depresi hidup. "Sudah terlalu banyak film bahagia di Indonesia, masa tak boleh ada film yang bercerita tentang kesedihan," kata suami dari Riani Ekaswati.

Ia melihat, bangsa ini penuh bunuh diri baik ibu-ibu maupun anak-anak, nah bukankan sesuatu hal yang gila jika filmnya bahagia semua "Kadang-kadang kamu harus merasakan luka dan sakit, dengan itu kamu akan merasakan kehidupan. Itu yang penting dalam film-film seni," ujar Garin.

Berbeda dengan film-filmnya yang lalu, di film Under the Tree Garin menawarkan pola gerak kamera yang kontemporer, cerita yang berjalan cepat dan Pemandangan Bali yang tidak didapatkan dalam film-film lain. "Kalau nonton film saya pasti mendapatkan sesuatu yang baru, percaya sama saya," katanya berpromosi.

Selain menggarap Under the Tree, Garin juga tengah menyiapkan film musikal tentang grup musik Slank berjudul Generasi Biru serta film Bumi Manusia, yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Pramoedya Ananta Toer. "Under the Tree punya pasar sendiri, Generasi Biru punya pasar sendiri, Bumi Manusia punya pasar sendiri. Seluruh karya punya pasar, pasar itu terlalu luas jika dilihat hanya dari satu sudut pandang," urainya.

Mengenai Generasi Biru serta Bumi Manusia, Garin tak mau terlalu banyak angkat bicara. Hanya sebagai bocoran pada film Generasi Biru ia akan melibatkan sutradara muda untuk dapat feel-nya. "Saya adalah Slankers dan saya cinta Pramoedya," pungkasnya.

Tidak ada komentar: