Jumat, 16 Mei 2008

Topeng



Ia duduk didepan cermin besar. Perempuan paruh baya yang masih menyisakan gurat-gurat kecantikan. Wajahnya pucat pasi, seakan tak ada setetes pun darah mengalir didalamnya. Matanya yang sayu memandang kosong kedalam cermin seolah ada dunia lain disana.

Putaran waktu sepertinya telah meninggalkan parut, tidak hanya diwajah atau kulitnya yang mulai mengkerut seperti kulit jeruk, tapi juga dihatinya. Rongga didadanya seolah kosong, karena cabikan detik demi detik yang terus berlari meninggalkan sejumlah luka menganga.

Dari dua pelupuk matanya mengalir sungai kecil. Bulir demi bulir mengalir lembut, seperti alunan musik jazz favoritnya. Tunggu, ini bukan pemandangan biasa. Bukankah sorot itu yang biasa memandang begitu remeh pada dunia. Bukankah sorot itu yang selalu menengadah seolah menantang angkuh.

Dibelakang perempuan itu tergantung topeng berwarna keemasan. Begitu anggun, begitu mahal. Ya, itulah wujud yang biasa aku lihat sebelumnya, wujud dingin bercap darah biru lengkap dengan gengsi yang menjulang tinggi. Golongan kaum terhormat yang terbiasa wara-wiri ditempat-tempat berkelas dengan pelayanan nomor satu. Bukan tampang kuyu tak berpengharapan seperti yang terpantul dikaca.

Dimana suara lantang yang menggelegar yang biasa aku dengar. Bicara soal politik, idealisme dan segala omong kosong tentang negara yang hampir bubar. Dimana dongeng pengantar tidur tentang negeri yang makmur yang biasa dia elu-elukan?. Mengapa yang tersisa hanya suara rintih dan isakan tertahan, seperti tikus mencicit.

Disebelah kiri perempuan itu terlentang ranjang berukuran raksasa. Diatasnya seonggok daging berpenis tengah mendengkur seolah meneriakkan petualangannya diatas peraduan tadi malam. Tubuh tak berbaju itu tampak tak terusik oleh gigitan pendingin ruangan.

Malam tadi mereka berbagi sepi, malam tadi rintihan dan desahan seolah menjadikan mereka bagian tak terpisahkan..rela berbagi walau hanya seiris cabe yang melekat digigi

Malam tadi perempuan itu merasa begitu bahagia. Bukan hanya karena sekedar sentuhan lembut dipayudaranya yang mulai mengendur atau disekitar selangkangannya yang tak lagi basah. Yang membuatnya bahagia adalah tadi malam laki-laki yang lebih pantas jadi anaknya itu, mengusir sepi-sepi yang berterbangan.

Namun itu semua hanya untuk sementara waktu, keluar dari ruangan ini keduanya akan kembali menjejakkan kaki ke dunia nyata. Dimana nyamuk-nyamuk sepi berkeliaran untuk menggigit.

Menoleh ke laki-laki yang berusia setengah dari umurnya, perempuan itu kembali tertegun. Air mata keperempuanannya kembali menitik. Mengapa malam tidak mendiktekannya secara sempurna, mengapa seperti laki-laki itu harus seperti bajingan yang lain. Datang untuk menguapkan malam, berbagi bait puisi basi lalu pergi seperti hantu dipagi hari.

"Bukan karena kelaminku perempuan maka buatku semua lelaki adalah bajingan."

Tapi jalan hiduplah yang mencipta. Pengalaman berkali dikhianati membuat perempuan itu sakit hati. Bahkan dokter memutuskan, hatinya yang membusuk harus diamputasi. Padahal menurutnya ia sudah cukup berbaik hati, ia sematkan setiap hela napas pada laki-laki. Ia titipkan hangat ketika matahari mencongkel pagi. Tapi yang hanya perih yang ia nikmati.

Senyap tanpa wujud. Desah nafas dan detak jantung: ritmis menawarkan kabut-kabut magis. Tak ada pilihan, perempuan itu harus memakai lagi topeng keemasannya. Disekanya air yang menetes dari pelupuk mata. Bayangan dicermin berganti, kini kokoh laksana kuda sembrani. Lalu perempuan itu bergegas, meninggalkan segepok uang diatas kasur dan pergi. "Apa maumu selain tubuhku, bajingan?" tanyanya didalam hati.

Awal 2008- disaat berenang dalam bimbang

Tidak ada komentar: