Kamis, 15 Mei 2008

Aku , Ia dan Dia


Cerpen seorang pemula, katamu

Ia

Sendiri, Aku duduk termenung disudut cafe di daerah Thamrin, tanpa Ia ataupun Dia. Dihadapanku tersaji secangkir cappucino hangat, dengan uap yang masih mengepul, sangat menggoda untuk dihirup. Disekitarnya, ada dua cangkir kosong dengan sedikit sisa cairan yang sama. Sementara padanannya sepotong chesse cake masih tersisa setengah, entah kenapa aku tak begitu berharsat untuk menghabiskannya.

Asbak dihadapanku juga sudah penuh dengan berpuluh-puluh puntung rokok. Entah untuk yang keberapa kuselipkan benda berwarna putih itu diantara bibir tipisku. Kuhisap dalam-dalam, kemudian kuhembuskan asapnya yang berbentuk lingkaran-lingkaran kecil ke udara.

Arloji dilenganku sudah menunjuk pukul empat, dengan kata lain sudah dua jam aku duduk dicafe ini. Tapi Ia yang kutunggu belum juga menunjukan batang hidungnya. Rasa tak sabaran mulai menjalar. Tapi setidaknya, lukisan rinai hujan diluar kaca jendela, memberikanku sedikit alasan mengapa Ia tak juga datang.

Dua puluh lima menit kemudian, Ia menampakkan diri dari mulut pintu cafe. Namun, kemunculannya tak membuat api amarahku menguap. Seperti biasa tanpa perasaan berdosa Ia mengecup keningku, lalu menarik kursi disampingku. Terlambat seolah menjadi nama tengah yang tak bisa Ia tanggalkan.

“Lihat kasus Eddie Widiono di SKP3,” kata Ia sembari menunjuk headline sebuah surat kabar.

Aku hanya membisu penantianku selama dua jam setengah jauh lebih penting untuk dibahas daripada penyidikan kasus korupsi pejabat yang dihentikan dengan alasan tidak cukup alat bukti.

“Sudah kuduga sejak awal kasus ini memang bau amis,” ujar Ia berpolah laksana seorang pengamat.

Aku tetap bisu, wajah ini semakin kutekuk. Tapi, sama seperti yang dulu-dulu, Ia selalu tak peka.

“Kau kenapa aku sudah datang jauh-jauh, hujan pula malah kau sambut dengan wajah cemberut,” ujar Ia, kurasa sudah mulai sadar dengan ketidaksenanganku.

“Jam berapa ini” kataku mencoba bersabar agar lahar kemarahanku tak meledak.

“Jam lima, ada apa rupanya,”

Bomm, Amarahku memuncak mengeluarkan lahar panas yang seolah tak tertahan lagi. Ingin aku muntahkan dimuka Ia, sehingga Ia sadar ada pedih dan luka yang Ia pahat, tapi yang terjadi malah kristal bening menetes dari dua muara sungaiku.

Aku salah, ternyata Ia tak juga mengerti.

“Aku menunggumu sejak dua jam yang lalu,” pekikku

“Lalu?aku kan tak berjanji untuk datang, aku hanya bilang iya, lagipula kau kan tahu setumpuk kesibukkanku,”ujar Ia seolah tak terjadi apa-apa.

“Aku tak pernah penting buatmu,” kataku disela isak yang semakin mengeras.

“Kalau kau tak penting aku takkan kemari meninggalkan metting-metting pentingku,” ujar Ia.

“Aku tak sanggup,” ujarku

“Ya sudah, aku tak memaksa kau tetap dalam komitmen ini, kau bisa pergi kapan pun kau mau” kata Ia.

Sesaat aku terpaku, namun tak lama, kukumpulkan sisa tenaga yang kumiliki, mencoba bangkit dari kursi dan beranjak pergi meninggalkannya. Kuacuhkan rintik hujan membelai tubuhku dengan tak bersahabat. Dan lagi-lagi seperti yang dulu-dulu Ia tak berusaha menyusulku.

Di dalam taksi tangisku kembali meledak, aku begitu tak berdaya dihadapan Ia. Kuseka kristal bening bercampur air hujan yang membanjiri wajahku, aku tahu disaat-saat seperti ini aku butuh Dia.

Dia

Segera kutekan nomor telepon genggam Dia, yang sengaja tidak kusimpan didalam memori handphone karena takut Ia curiga, tapi begitu melekat didalam kepalaku. Dua kali kucoba, belum juga diangkat, baru yang ketiga kudengar suaranya diujung telepon.

“Ada apa Raya,” sapa Dia lembut seolah memahami gejolak perasaanku.

“Ia menyakitiku lagi,” ujarku.

“Kau bisa kemari kalau kau butuh aku,” kata Dia.

Segera ku perintahkan supir taksi untuk memutar arah menuju rumah Dia. Jalanan yang basah seakan tak menyurutkan niat masyarakat jakarta untuk keluar rumah. Jalanan tetap saja macet, dan taksiku satu diantara kendaraan yang merayap di aspal Jakarta, berusaha menembus kemacetan.

Sesaat kemudian aku sudah berhenti didepan rumah bergaya minimalis milik Dia. Aku langsung bergegas turun dan mengetuk pintu seakan tak sabar untuk menghambur larut dalam pelukan Dia.

Benar, Dia membuka pintu dan menyapaku dengan senyuman hangat.

“Kau basah Raya, masuklah biar kuambilkan handuk untuk mengeringkan tubuhmu,” ujar Dia. Aku pun duduk diruang tamunya yang asri, sesaat dia kembali membawa handuk dan secangkir coklat hangat.

“Coklat hangat, kurasa lebih baik, karena aku tahu kau sudah menegak bergelas-gelas kafein,” ujarnya lembut. Tak kuasa bendungan pertahananku pun jebol, bulir-bulir bening itu kembali tumpah dipundak Dia. Dan Dia pun membelai rambutku, memberikan semacam energi baru untuk bangkit.

Perempuan itu buat Ia

Aku mencintai perempuan itu, walau kuakui awalnya adalah ketidaksengajaan. Perempuan itu tidak cantik, jauh dari cintaku yang begitu. Namun ketika ia mampu menepis sepi-sepiku, rasa itu mulai tumbuh. Apalagi melihat kemandirian dan semangat hidupnya yang begitu besar, sehingga menular kepadaku yang hanya memiliki semangat hidup sebesar biji sawi.

Kuakui aku suka dengan tawa renyahnya, lepas seakan dialah pemilik dunia. Aku juga mulai candu dengan mata indah atau aroma tubuhnya. Singkat kata, ia mulai menyatu dalam detakku, perempuan yang selalu tergopoh, sehingga akhirnya selalu ketinggalan barang-barangnya.

Aku selalu tersenyum mengingat dia, karena sifat cerobohnya, hampir setiap hari perempuan itu kehilangan pulpen padahal sebagai seorang pewarta, pulpen adalah senjatanya. Entah sudah beberapa kali ia mengeluh karena handphone atau dompet raib dari tasnya.

Hanya saja, terkadang perempuan itu bisa menjelma menjadi sosok gadis berusia lima tahun yang akan menangis sekuat tenaga bila keinginannya tak terpenuhi. Egois dan keras kepala, itulah yang membuat aku tanpa sadar membuat carut dihatinya. Kerapkali ia tersedu karenaku, aku tahu dia luka.

Menyesal, rasa itu menyusup kedalam ragaku. Tapi perempuan itu tak pernah tahu, dia menganggapku keras bagai baja. Tidak perempuanku, aku lunak bagai lilin, yang mudah meleleh. Hanya saja aku laki-laki, lelaki tak boleh tampak lemah walau untuk sekedar menunduk.

Dia

Aku tak tahu kapan tepatnya dia masuk dalam kehidupanku. Yang pasti saat hubungan aku dan Ia, berubah seperti neraka, Dia muncul laksana malaikat Ridwan yang menghembuskan angin surga.

Dia yang selalu menentramkan gelisahku dan mendongeng tentang kerajaan utopia. Dan muncul sebagai Arjuna dalam mimpi burukku. Dia berikan aku secercah horizon harapan, yang mulai membuatku mabuk terbuai.

Tapi itu tak lama, Dia pun mulai menunjukan sifat alami seorang lelaki, dominan dan ingin menguasai. Bagai baginda raja, Dia mulai memberiku berbagai titah mulai dari hal sepele seperti menurunkan berat badan (Dia tak begitu suka dengan tubuh “berisiku”), mengubah cara bercandaku atau hal sepele lainnya.

Kenapa aku menyebutnya sepele? Karena menurutku yang paling berat adalah aku tidak selalu bisa mendapatinya disaatku butuh. Aku tak mempunyai otoritas menghubunginya bahkan untuk sekedar mengirimkan pesan pendek kepada Dia.

Aku tahu dan Dia sudah bercerita kalau ada perempuan lain disudut sana. Perempuan yang begitu Dia puja. Perempuan yang selalu Dia jaga seolah begitu rapuh, sehingga dapat terburai hanya karena terkena semilir angin.

Tanpa sadar Dia ikut menabur luka ..

Perempuan itu Bagi Dia

Perempuan yang menyenangkan, tapi sayang datang sedikit terlambat. Ia hadir saat hatiku sudah penuh sesak dengan nama-nama sehingga aku sedikit ingin muntah. Perempuan itu hadir disaat subuh, saat hari diselimuti kabut putih. Disaat aku tak bisa..

Aku lelaki pongah dengan tangan menyilang di dada. Aku berjalan dengan kepala menengadah. aku bersayap putih tapi aku iblis. Aku akan terus berjalan dengan mata-mata indah menawan pikiranku. Tanpa melihat ke luar, tanpa mendengar kegaduhan. Sendiri, sepi, punggung membungkung, tangan menyilang Sedih, dan siang pun bagai malam bagiku.

Tapi itu sandiwara perempuan, percayalah aku tak sekuat yang tampak. Tak mengapa bukan, sekarang kita semua sedang berlaga diatas pentas. Menjadi kau menjadi perempuan, aku sebagai laki-laki, kau menjadi wartawan, aku menjadi pelukis, menjadi pejabat, artis, pelacur semua sama..

Aku, Ia dan Dia

Seperti biasanya malam ini tampak pekat. Tapi tidak seperti biasanya malam kali ini kulalui tanpa Ia maupun Dia. Jujur aku masih rindu lengan Ia yang setia melingkar di pinggang sewaktu aku tidur. Atau cerita-cerita Dia tentang lembayung merah dikanvas langit. Tapi ada yang lebih baik dari keduanya, sendiri dan menapaki waktu tanpa Ia ataupun Dia.

Diakhiri dengan melankolis karena kamu sedang berenang dibenakku

Tidak ada komentar: