Minggu, 14 Desember 2008

Perempuan


Pagi ini mata saya terkesiap melihat sebuah tayangan televisi. Tayangan berdurasi lima menit menit kurang itu bertutur mengenai penggerebekan di sebuah hotel melati di kawasan Cirebon. Pada tayangan tersebut diperlihatkan secara gamblang bagaimana para Pekerja Seks Komersil (PSK) itu diserbu dengan para polisi (m)oral dan sejumlah pihak yang mengatasnamakan agama.

Tidak hanya sampai disitu, para juru warta pun ikut-ikutan mengadakan sidang susila dadakan dengan menyorot tubuh telanjang para perempuan. Aksi kejar-kejaran perempuan-perempuan itu dengan aparat yang terhormat dihadirkan bak lelucon slaptik antar anggota srimulat.

Perasaan miris bergelanyut dibenak saya. Terlepas salah atau tidak mereka, apakah para polisi moral itu berhak melakukan hal-hal yang melanggar batas-batas kemanusiaan?. Apakah karena mereka melakukan zina, lalu mereka berhak dihakimi bak binatang.

Adakah terbersit di kepala bapak aparat yang terhormat atau aktivis yang agamis bagaimana perasaan anak dan keluarga mereka menyaksikan tubuh darah dagingnya digiring telanjang bulat. Bagaimana kalau itu terjadi pada anak, istri atau saudara mereka?.

Pertanyaan saya selanjutnya, kenapa yang disorot hanya perempuan. Sementara laki-lakinya dibiarkan bebas melenggang –setidaknya dibiarkan mengenakan pakaian terlebih dahulu-. Bukankah sebelumnya mereka –laki laki dan perempuan- yang berasyik masyuk, tetapi kenapa dalam hal ini (terutama pemberitaan tadi) perempuan seolah lebih hina.

Ah, perempuan

Minggu, 09 November 2008

Jatuh Cinta

Akhir pekan ini saya memilih untuk menghabiskan waktu sendirian. Satu hal yang jarang saya lakukan ketika masih bersama dia. Ternyata menyenangkan juga menemukan tempat makan yang ingin dikunjungi tanpa harus berkompromi dengan selera orang lain atau berlama-lama di toko buku tanpa harus mendengar deheman kesal.

Bebas dan sepi datang serentak dalam hidup saya. Bebas karena saya tidak perlu merasa bebas karena berhari-hari tidak mengabari seseorang tentang keberadaan saya atau bebas saya tidak perlu melakukan adu argumen seperti pakar ekonomi di televisi. Menghabiskan energi hanya untuk berdebat tentang hal-hal kecil. Intinya hidup saya sekarang lebih nyaman, aman, tentram.

Bersamaan dengan itu, rasa sepi diam-diam merasuk dalam relung hati saya. Handphone saya jadi jarang berdering -bukankah biasanya juga demikian hehehe- tapi tak apalah yg penting rasa cemas itu tak lagi mengganjal.

"Kalau gue balik lagi ma .... gimana Niks" Tanya saya kepada seorang teman.
"Mang die ngajak lo balik?" teman saya balik nanya.
"Kan gue bilang kalau"
"Ya, gue cuma mo bilang ati-ati aja"
"Ati-ati maksudnya? mang dia lampu lalu lintas" jawab saya sekenanya.
"Maksud gue, ati-ati Mas ...."
siaaaalll umpat saya.
"Mang apa sih yang ngebuat lo suka ma dia Ty" tanya kawan itu lagi.
Saya diam, sama seperti ketika teman lain bertanya mengapa saya masih bertahan dengan mantan padahal dia puluhan kali membuat saya bersimbah air mata.

Mengutip lagu Agnes Monica, cinta itu kadang-kadang tak logika. Bahkan saya juga tidak bisa menterjemahkan kenapa saya mencintai dia atau hal apa dalam diri dia yang membuat saya termehek-mehek kaya reality show di salah satu stasiun tivi swasta.

Bodoh mungkin, tapi saya punya bukti kalau bukan hanya saya manusia bodoh di muka bumi ini.

Teman saya, rela bolak-balik Bogor-Jakarta mengantarkan sang pujaan hati. Karena hanya itu waktu yang mereka punya, maklum sang kekasih sudah berstatus ibu dua anak.

Saya pernah marah dan menganggap dia stupid little person. Apa sih hebatnya perempuan itu? Padahal masih banyak perempuan lain yang jauh-jauh lebih baik dari kekasihnya dan secara terang-terangan mencintai dia. Teman itu hanya tersenyum, mungkin dia juga kehilangan kata sama seperti saya.

Contoh lain dari kebodohan cinta dilakukan oleh sahabat saya, puluhan kali dikhianati, ratusan kali dibohongi, ribuan kali disakiti tapi tetap menerima lakilaki itu layaknya malaikat suci. Cinta telah membuat mata seseorang jadi buta, masokis dan menghapus semua logika.

Penyair Tan Lioe Ie pernah mengatakan pada saya kalau ikan di dalam aquarium tak pernah sadar kalau air tempat ia berenang keruh. Sementara orang yang di luar bisa melihatnya dengan nyata. Hal serupa terjadi pada orang yang sedang jatuh cinta. Ngomong-ngomong soal jatuh cinta sudah lama saya nggak jatuh cinta.

Minggu, 12 Oktober 2008

Ketika Cinta Kadaluarsa


Percayakah kamu segala sesuatu yang bertebaran di atas dunia ini punya batas kadarluarsa. Entah itu benda-benda seperti susu kaleng, roti hingga rasa cinta. Orang lain boleh tidak sepakat dengan pendapat saya, tetapi itulah pemandangan yang saya saksikan selama dua puluh tiga tahun hidup di bumi.

Hampir seperempat abad ibu dan ayah saya hidup bersama. Tentulah asal muasal kebersamaan itu adalah cinta. Tetapi seiring berjalannya roda kehidupan, saya melihat cinta yang terjalin diantara mereka mulai pudar, hilang untuk kemudian bertransformasi menjadi rasa sayang dan saling membutuhkan.

Saya dan pacar saya memutuskan untuk berpisah pekan lalu. Ini perpisahan yang kesekian bagi kami setelah puluhan kali putus nyambung selama dua tahun. Tak seperti yang dulu-dulu saya tidak merasa sakit pada perpisahan kali ini.

Mungkin ada rasa kesal yang menyelimuti, tapi saya rasa itu lumrah. Kami pernah berjalan bersama selama 720 hari dan sudah semestinya ada perasaan hampa yang bergelayut ketika kebersamaan itu harus diakhiri.

Saya tidak membenci dia. Saya tahu dia sudah cukup berusaha menjadi yang terbaik. Entah itu dengan mengantar keluarga saya pulang pergi Jakarta-Bandung, mengajak adik-adik saya bermain ke Time Zone atau mengantarkan saya ke rumah sakit tengah malam.

Manusiawi jika selama perjalanan kami ada kerikil-kerikil yang melukai. Toh kami memang dua mahluk yang lahir dari agama dan budaya yang berbeda. Mungkin ada nilai-nilai yang dianggap salah oleh saya, tetapi benar menurut pacar saya sehingga mau tak mau terjadilah perselisihan.

Perselisihan itu lama kelamaan menciptakan jurang yang memisahkan antara saya dan dia. Makin lama ceruk yang tergali semakin dalam, sehingga tanpa sadar kami sudah berada di jalan yang berbeda.

Saya berharap menemukan jalan yang lebih baik saat kami berpisah, demikian pula sebaliknya. Mencari pengganti? Oh sudah pasti. Tapi untuk saat ini lebih baik saya merelaksasi hati, supaya saya bisa lebih bijak dalam menjalani hubungan dikemudian hari.

Di masa-masa berkabung ini saya ingin mengucapkan terima kasih untuk orang-orang yang ada buat saya. Untuk Monyet dan DW yang sudah mau diganggu oleh sms saya malam-malam, untuk Bang Toyib yang sudah mengirimi saya coklat dan buku bacaan, Kuncung dan Tante Plinplan yang mau menemani nonton Laskar Pelangi dan shopping heboh di Centro.

Dan tentu untuk mantan pacar saya. terimakasih, kita memang pernah punya cerita indah tetapi mungkin sudah tiba masanya kadarluarsa.

Rabu, 08 Oktober 2008

Selingkuh Itu Indah


Otak saya sedang “menye-menye”. Maklum, beberapa minggu belakangan ini saya “dibombardir” dengan curhatan beberapa teman tentang pasangannya yang selingkuh. Refleks sirene peringatan otak saya pun langsung berbunyi, jangan-jangan pacar saya melakukan hal yang serupa.

Teman saya yang pertama sebutlah namanya Barbie. Ia cantik, kaya dan mendekati kata sempurna seperti Barbie. Saya berpikir betapa beruntungnya laki-laki yang menjadi pacar Si Barbie, jauh lebih beruntung dari pada laki-laki yang memacari saya.

Tetapi belum lama, tiba-tiba pada YM Si Barbie tertulis status, menghapus jejakmu. Insting gosip saya yang memang sudah terasah sejak lama langsung tanggap. Tanpa tendeng aling-aling saya langsung mengetuk jendela Ym Barbie. Ada apa Jeng, statusnya kok melow banget, tanya saya dengan want t knownya.

Seperti membuka keran, lalu mengalirlah curhatan dari bibir seksi Si Barbie (lewat YM tentunya). Sambil termehek-mehek ia bercerita kalau kisah cinta antara dia dan pacarnya sudah selesai. Si pacar terlibat CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali dengan mantan kekasihnya yang baru pulang dari luar negeri.

Gara-gara putus cinta, Si Barbie sempat mengalami depresi berat. Kerjaan di kantor jadi amburadul, matanya pun sering kelihatan bengkak. Bahkan, kemarin Barbie bercerita kalau dia terkena insomnia, baru bisa tidur setelah ayam berkokok. Walah sampai segitunya ya, batin saya.

Kini Si Barbie tengah mencoba merajut kembali serpihan-serpihan hatinya yang sempat terkoyak. Untuk masa penyembuhan itu, ia tak segan-segan merogoh kantongnya dalam- dalam. Entah itu liburan ke luar kota, belanja-belanji, begeol di kafe untuk haha hihi atau dugem sampai pagi.

Teman lain yang menjadi “korban” perselingkuhan adalah Tante Plinplan. Si Tante memang sempat menjalin hubungan jarak jauh. Pacarnya, Oom Plinplan sempat tinggal lama di negeri seberang untuk menuntut ilmu.

Ternyata sang pacar menganut peribahasa, sambil menyelam minum air. Sambil kuliah, cari pacar lain. Fakta tersebut terkuak ketika si pacar pulang ke tanah air. Tentu si tante terkejut, bedanya dengan si barbie, tante tidak bisa berbuat apa-apa karena dia juga melakukan hal yang sama. Mo gimana lagi Ty, gue paham kok kalo dia kesepian disana, kata si Tante dengan bijak.

Perasaan saya semakin dag dig dug serr, kalau yang cantik bin kaya saja diselingkuhi apa lagi saya yang tidak cantik dan tidak kaya. Atau lebih baik saya saja yang selingkuh supaya tidak menangis karena diselingkuhi.

Bermain Dengan Sunyi


Lagi, Jakarta membuat otak saya muntah. Perasaan saya seolah meringis, diiris oleh nyanyian sunyi. Ah, baru tiga hari saya menginjakan kaki kembali ke tanah merah ini, tetapi kenapa jengah sudah memenuhi kepala.

Ada setumpuk pekerjaan yang harus saya kerjakan. Ada sederet perubahan yang ingin saya lakukan. Tapi yang saya lakukan tak lebih dari sekedar diam, dan membiarkan sunyi yang menari-nari. Memamah waktu milik saya.

Seminggu di rumah bersama keluarga membuat batin saya tenang. Meski terkadang bayangan laki-laki itu melintas dibenak saya, tak mengapa karena sekarang saya sudah bisa mengusirnya. Tapi ada malu yang pelan-pelan merasup dalam kalbu.

Saya malu karena telah membuat ayah dan ibu berpikir kalau saya adalah anak baik. Anak manis yang pantas mereka gadang-gadang di depan keluarga besar. Ah, semoga saja mereka tidak tahu karena saya sendiri malu.

Saya seorang yang jauh dari kata sempurna. Berkali saya kehilangan sahabat karena sebuah keegoisan. Saya biarkan mereka berlalu untuk sebuah keangkuhan. Padahal kalau mau jujur batin saya sering berbisik lirih bahwa saya butuh mereka. Tapi saya memilih untuk mendongakan kepala.

Saya memilih larut dalam sepi-sepi

Bermain bersama bayangbayang

Kelabu..

Buat semua yang pernah merasa tersakiti baik dengan sengaja ataupun tidak, kali ini saya ingin merunduk sekedar memohon dibukakan pintu maaf.


Nb : Foto ini karya dwi rastafara


Minggu, 14 September 2008

Pria Bermata Kupu-kupu


pagi buta kamu sudah menoreh luka pada mata saya
kamu gores retina dan pupil untuk mengeluarkan kupu-kupu dari sarangnya
diterik siang kamu mulai memamah bibir saya
bukan dengan cinta, tapi dengan cuka serta retorika
pekat malam tak menghalangi lakumu mencongkel hati saya
bukan untuk dikoleksi, melainkan dibuang untuk makan anjing
sekarag hanya televisi di kepala saya yang masih nyala
semoga kamu tidak mencabut kabelnya

-andai kamu tak serumit rumus aritmatika-

Kamis, 04 September 2008

Gaun Pengantin


Aku pandangi gaun pengantin berwarna putih yang tergantung di sudut almari. Aku tersenyum. Sudah saatnya gaun tersebut bangkit dari tidur panjangnya. Inilah waktu yang tepat untukku mengenakannya. Waktu menghadiri upacara pemakaman kekasihku, Izal.

Kurasa kebahagiaan menjalar dalam rongga dada ketika aku menyentuhnya. Kebahagiaan itu bercampur dengan detak jantung yang berdebar-debar. Aku layaknya seorang perawan yang tak sabar menunggu upacara pemberkatan.

Debar itu terjadi karena aku ingin tampil sempurna. Aku ingin semua mata terbelalak dan semua lidah berdecak melihatku. Hal yang utama, aku ingin melihat Izal bahagia dihari terakhirnya melihat dunia.

Setidaknya Izal bisa tersenyum melihat orang yang dicintainya tampak cantik. Ia tentu tak ingin melihatku menghadiri upacara pemakamannya dengan mata sembab dan wajah awut-awutan. Aku paham, karena aku tahu betapa Izal mencintai kematian.

Bila kematian menjadi sajak sendu bagi kebanyakan orang, tapi bagi Izal kematian merupakan saat-saat yang paling dinantikan. Ketika orang lain menganggap kematian sebagai sesuatu yang mengerikan sehingga kedatangannya disambut dengan jerit tangis serta raungan, bagi Izal kematian merupakan saat yang paling membahagiakan.

Ketika orang lain memilih bersembunyi menghindari kematian, Izal malah mencoba untuk mengakrabinya. Bagi Izal bunyi sangkakala merupakan bunyi terindah yang pernah ia dengar, melebihi denting piano maupun gema saxsofons.

Dalam kematian Izal berharap dapat mewujudkan impiannya yaitu mendirikan kampung dari potongan kuku. “Apa mungkin aku membangun kampung dari potongan kuku Tya?,” tanya Izal sembari mengelus-elus kepalanya yang botak.

Aku kembali tersenyum. Pasti bisa Izal. Kau pasti bisa mewujudkan semua impianmu, bisikku lirih.

Aku begitu mengagumi dan mencintai segalanya tentang Izal. Mulai dari pemikiran, karya termasuk kepalanya yang botak hingga ujung kuku penuh kotoran yang akan dijadikannya bahan baku membangun sebuah kampung.

Kuku-kuku Izal lebih kuat dari baja. Ia memang bukan Gatot Kaca yang memiliki otot baja tulang besi, tapi dia adalah titisan Sarpakenaka, raksasa perempuan buah cinta Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi.

Tak seperti jabang bayi biasa, Sarpakenaka keluar dari rahim Dewi Sukesi berupa potongan kuku. Kuku yang keluar beraneka rupa mulai dari yang berukuran kecil, besar hingga sangat besar. Kuku yang keluar tak hanya berupa kuku manusia tapi juga kuku hewan, iblis dan malaikat.

Setelah bersentuhan dengan udara kuku-kuku tersebut kemudian bermetamorfosa menjadi bayi yang sempurna. Meski demikian Dewi Sukesi tetap merasa jijik, ia tetap tak mau menyentuh bayi Sarpakenaka.

Hal serupa dialami Izal, sejak lahir ibunya enggan menyentuhnya. Bahkan tubuh Izal yang masih merah dan belum membuka mata digelindingkan begitu saja, hingga sampai di depan pintu rumah yatim piatu.

Padahal layaknya Sarpakenaka, Izal lahir dari erangan-erangan serta cakaran-cakaran kuku yang bersumber pada buncahan birahi yang menggerogoti jiwa kedua orang tuanya. Tetapi kemudian Izal ditelantarkan dalam sunyi, tak ada erangan atau cakaran.

Izal terlunta, tumbuh menjadi manusia yang haus akan belaian. Ia berkembang tanpa mengenal cinta. Hingga suatu saat Izal berkenalan dengan birahi. Suatu perasaan nyaman ketika kedua selangkangan saling terpatri. Ketika itulah ruh Sarpakenaka merasuk dalam tubuh Izal.

Ruh Sarpakenaka menyebabkan Izal memiliki perasaan yang halus walaupun ia seorang laki-laki. Tentu perasaan halus yang dimaksud berbeda dengan tingkah gemulai para presenter yang sering wara-wiri di kotak televisi.

Meski tak pernah diajar, Izal memiliki tutur kata yang santun. Layaknya seorang kesatria ia selalu berbicara dengan nada lirih namun mengandung kewibawaan. Karisma Sarpakenaka membuat Izal banyak digemari kaum perempuan.

Di usia 25 tahun Izal menikah dengan kemanakan seorang penulis ternama. Cantik nama perempuan itu, nama yang sepadan dengan wajah yang dimilikinya. Resepsi berlangsung dengan meriah, maklum Cantik berasal dari keluarga terpandang.

Ratusan rekan maupun kerabat kedua mempelai datang menghadiri resepsi. Di hadapan Izal dan Cantik, semua undangan mengucapkan selamat menempuh hidup baru. Mulut mereka berbuih mengumandangkan doa agar keduanya menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah.

Tapi hidup tak semanis madu

Perjalanan rumah tangga Izal tak semeriah pesta resepsinya. Kecantikan dan harta ternyata bukan jaminan untuk mencipta kebahagiaan. Cibiran maupun lontaran iri menjadi makanan sehari-hari. Suara sumbang seolah menjadi tembakan senapan yang membabi buta, membuat luka dan mengalirkan darah.

Belum genap tiga bulan Izal memutuskan untuk membubarkan rumah tangganya. Dalam keadaan penuh luka ia pergi meninggalkan Cantik, meninggalkan apa yang disebut-sebut orang sumber kebahagiaan. Izal memilih untuk pergi dan mencari kebahagiannya sendiri.

Ketika kecantikan dan harta tak bisa Izal menahan dalam waktu lama, tidak juga kesederhanaan. Tak lama setelah berpisah dengan Cantik, Izal menikahi Kembang, gadis kampung asal Bekasi.

Dari Kembang, Izal mendapatkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Sunya. Tetapi Kembang maupun Sunya belum bisa memberikan kebahagiaan bagi Izal. Ia pun memutuskan untuk kembali pergi. Sebagai bentuk tanggungjawab Izal meninggalkan seluruh hartanya untuk Kembang dan Sunya.

Bertahun Izal hidup sendiri, ia sadar pernikahan hanya menciptakan sebuah belenggu diri. Di mana sebentuk jiwa akan terkungkung dalam terali. Penikahan bagi Izal seperti orang yang merasa dirinya hidup bertetangga, padahal mereka berada dalam gerbong yang berbeda.

Untuk masalah birahi Izal lebih sering menyelesaikan di kamar mandi. Mencakar diri dengan kuku, lalu mengerang karena selangkangan yang tercekik muntah cairan putih. Bila ada uang lebih terkadang Izal suka ke Cafe Dangdut atau rumah bordil. Tapi ia lebih senang bermimpi tentang serat pakaian wanita Sarpakenaka.

Di salah satu cafe dangdut itulah aku bertemu dia. Dalam remang cahaya cafe, Izal tampak mencolok karena aku melihat ada matahari yang bersinar pekat di atas kepala Izal, tepat di bawahnya tampak dua ekor mata bintang serta sesungging senyum aneh.

Dari situ aku sadar, Izal memang matahari, pusat tata surya di mana planet-planet berjalan mengitarinya. Aku pun jatuh cinta dan tersihir oleh pesonanya. “Kau tahu di surga tangah musim kemarau,” ujarnya kala itu.

Tak lama kami pun menjadi sepasang kekasih. Tentu tanpa ikatan pernikahan. Agar dapat berjalan berdampingan dengan Izal aku harus rela membumihanguskan impian tentang pernikahan.

Tapi tak mengapa karena Izal masih mempersilahkanku tetap bermimpi tentang gaun pengantin. Bahkan tanpa ragu ia membantuku mewujudkan impian itu, bahkan ia juga terjun langsung merancangnya.

Maka jadilah sebuah gaun pengantin berwarna putih dengan sebuah sayap. Kenapa satu? Karena Izal mengumpamakan aku sebagai malaikat bersayap satu. Bukan karena aku lumpuh, tapi karena sayap yang satu lagi melekat pada tubuh Izal. “Kau bisa memakai gaun itu pada hari yang paling membahagiakan dalam kehidupanku yaitu pada saat upacara pemakamanku,” ujarnya pada suatu waktu.

Sejak bersama Izal jiwaku terbelah, sebagian bersarang di tubuhku dan sisanya dibawa oleh dia. Aku hanyut dalam ritmis magis sepi-sepi dunia Izal. Berkawan dengan sahabat karibnya yaitu kematian, sehingga aku dapat menjelaskan dengan gamblang bagaimana keadaan kerak surga dan kerak neraka.

Izal menjejalkan cerita tentang manusia fiksi dalam sel abu-abu, sehingga tak ada lagi ruang kosong dalam otakku. Tak ada kemuraman, selalu ada harapan, sama seperti yang didengungkan Tuhan dalam kitab suci.

Hampir seperempat abad gaun pengantinku tertidur dalam lemari. Meski keinginan memakai gaun pengantin menggetuk sanubariku, tentu aku tak pernah berdoa saat yang berbahagia bagi Izal itu datang dengan cepat. Seperti Sapardi, aku ingin mencintai Izal dengan sederhana.

Tanpa kami sadar roda kehidupan begitu kencang bergulir, mengubah detik menjadi menit. Mengganti menit menjadi jam, menyulap jam menjadi hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun dan tahun pun semakin menua.

Hari itu kutemukan Izal terpejam, tapi bukan tidur. Meski sunggingan aneh itu tetap mengulas bibir tebalnya, namun tak ada hembusan udara yang keluar dari lubang hidungnya. Kuperiksa denyut nadinya, kutemukan Izal mati.

Sesaat aku bingung apakah mesti berbahagia atau berduka. Sebagai kekasih Izal tentu aku berbahagia karena saat yang dinantikannya telah datang. Tetapi mengingat separuh hatiku yang bersemayam di tubuhnya, aku sedih bukan kepalang. Terbayang olehku sulitnya mengatur sepi-sepi yang akan menggerayangi malam-malamku selepas Izal pergi.

Ingatanku terantuk pada gaun pengantin dalam almari. Sudah saatnya gaun itu kukenakan. Aku dapat merasakan Izal juga merasakan hal yang serupa, ia sudah tak sabar untuk melihatku memakainya.

Gaun putih itu terasa sedikit sempit, maklum dua puluh lima tahun lalu tentulah tubuhku tak sebesar sekarang. Tentulah tak ada kerut atau tumpukan lemak yang mengganggu. Tapi aku tak peduli, sama seperti acuhnya aku menghadapi kenyitan kening orang-orang melihat penampilanku.

Aku hanya ingin tampil untuk Izal. Sosok yang kusayangi selama ini. Ketika tubuh Izal yang dibalut kain kafan dimasukkan dalam liang aku bisa mendengar sorak bahagia. Saat tanah merah menutupi liang ku dengar teriakannya, aku sampai pada tepi darimana aku tak mungkin lagi kembali.