Minggu, 25 Mei 2008

Mengapa Menikah Itu Penting?





Seorang teman akan segera meninggalkan Indonesia untuk melanglang buana ke tiga negara di Eropa. Bagi saya dan teman-teman di geng Nucep tentu itu sebuah hal yang membahagiakan dan berharap semoga keberuntungan itu menular pada kami.

Teman saya itu adalah seorang perempuan sederhana yang menyenangkan. Selama saya dua tahun tinggal dibelantara Jakarta, dia merupakan salah satu “tong sampah” bagi saya untuk menuangkan unek-unek yang sebagian besar nggak penting.

Terus terang saya merasa kehilangan dan takut apakah saya akan menemukan teman sebaik dia dikemudian hari. Apabila tidak tentu saya harus menyediakan anggaran khusus serta merogoh kocek lebih dalam untuk sekedar curhat dengan dia yang berada di benua berbeda.

Suatu siang yang ketika mood saya tdak begitu baik, beberapa geng Nucep asyik berdiskusi –bahasa yang lebih sopan untuk tidak menyebut bergosip- masalah hubungan teman saya itu dan pacarnya saat nanti dia berangkat ke Eropa.

Teman saya mengatakan, ia dan pacarnya akan segera bertunangan. Hal itu bertujuan agar ada sebuah ikatan yang pasti antara mereka. Tetapi anggota pertama –perempuan yang akan segera melepas masa lajangnya Juli mendatang- menyarankan tidak setuju. Dia menyarankan agar teman saya itu untuk langsung menikah. Dia beralasan, bertunangan tidak menjamin langgengnya sebuah hubungan, apalagi jika jarak yang membentang cukup jauh.

Anggota lain –perempuan yang akan melepas masa lajangnya akhir tahun ini- mencoba menganalisis dari sudut psikoanalalisis. Dia menilai teman saya ini belum siap dan belum cukup yakin dengan pasangannya. Untuk itu dia menyarankan teman saya untuk tidak usah bertunangan saja. “Siapa tahu di Eropa lo ketemu yang lain, lagian tunangan itu nanggung,” ujar dia.

Pertanyaan muncul dibenak saya, mengapa menikah menjadi topik yang sering didengungkan ketika perempuan menginjak usia 25 tahun. Mengapa mereka seolah merasa menikah adalah sebuah tahap untuk mencapai kesempurnaan dan tanpa itu mereka bagai malaikat yang kehilangan sayap.

Tentu saya tidak mengklaim pemikiran mereka salah. Perempuan berhak menentukkan pilihan hidupnya, seperti saya yang memilih untuk memposisikan pernikahan adalah sebuah hal yang tidak penting.

Kalau disodori pertanyaan kapan saya menikah maka saya akan menjawab belum tahu. Jawaban yang tidak cerdas karena memang saya belum menemukan jawaban yang cerdas kenapa saya perlu menikah.

Alasa pertama, saya yang tidak cerdas ini menilai sebagai manusia saya pencapaian belum apa-apa. Secara materi, dibandingkan teman SMA saya yang bekerja di perusaahan tambang tentu penghasilan saya tidak sampai sepersepuluhnya.

Kedua, secara karya, saya belum menghasilkan buku atau film yang layak di apresiasi. Seorang teman menyebut saya sebagai penulis pemula yang karyanya harus banyak direvisi, dan tentu saja saya sadar akan hal itu.

Ketiga, saya juga merasa belum pernah membahagiakan kedua orang tua saya. Kedua orang yang dengan ikhlas membesarkan saya dengan kebandelan-kebandelan dan mau menerima saya apa adanya. Masa saya belum membahagiakan orang yang memelihara saya dari lahir, sudah harus membahagiakan orang lain –orang tua serta keluarga suami saya-

Alasan keempat banyak yang belum saya capai. Saya masih ingin menjelajahi banyak tempat, tanpa harus dibebani pikiran bagaiman anak saya dirumah atau apakah suami saya berselingkuh dengan sekertarisnya.

Kelima, saya masih mau mencoba kebandelan-kebandelan lainnya. Saya tidak ingin bernasib seperti pacar teman saya yang notabene adalah istri orang. Saya ingin menjadi istri yang baik ketika saya menikah kelak –itu juga kalau saya menikah-. Pepatah mengatakan, salah satu alasan kenapa orang selingkuh ketika sudah memiliki pasangan adalah karea dia tidak puas dengan masa mudanya, -pepatah yang dibuat tanpa melalui pengujian atau survey-

Alasan keenam karena saya belum percaya dengan sebuah komitmen. Bahkan untuk sekedar berpacaran. Entah kalau ketidakyakinan tersebut dipicu karena saya belum bertemu laki-laki yang tepat. Only heaven know

Alasan terakhir karena saya baru berusia 23 tahun. Seorang teman yang berusia 35 tahun mengatakan, kamu tiak akan berbicara seperti itu bila sudah berda pada posisi saya. Entahlah, semoga menikah tidak menjadi kewajiban bagi saya dan saya harus menikah karena usia saya sudah kepala tiga. Atau saya menikah karena takut dicemooh perawan tua –come on apa yang salah dengan perawan tua-

Saya ingin menjadikan menikah atau tidak adalah sebuah pilihan, pilihan yang diambil dengan sadar bukan karena keterpaksaan. Saya akan menikah karena saya perlu dan sekarang saya belum merasa perlu.

2 komentar:

fairuzul mumtaz mengatakan...

aku jadi teringat ketika kita membahas persoalan kawin...
asyik memang membahas hal itu..
kamu baca ya tulisanku tentang bali Tarian Buminya Oka Rusmini. judulnya teror dalam tarian bumi untuk bali.. itu ada masalah kawinnya..

SERAT mengatakan...

topik normatif yang sempat kita bicarakan dibeberapa momen yang tidak banyak itu, seingatku, salahsatunya adalah soal pernikahan. aku tak akan menyinggung itu dengan memilih setuju atau tidak, namun, meski tema itu--agak-- sering kamu bicarakan--kalau tidak demikian, maaf--, pilihanmu untuk untuk tidak mengungkap alasan malah menutup ruang perdebatan.
sekadar celetuk...