Jumat, 16 Mei 2008

Maaf, Tak Ada Cinta



Aku tak bisa pergi, ujar perempuan itu dengan pandangan tergugu, entah menatapku atau ke arah dinding putih yang membentang kosong. Mata sayu itu tampak begitu lelah.

Untuk apa lagi, kataku. Aku masih mencintaimu, tukasnya lemah seakan seluruh energi yang dimilikinya terhisap habis oleh bumi.

Rasa itu hanya akan mengulitimu, membuat kau jatuh dan terluka, dan kau tahu aku tak mau itu terjadi kepadamu.

Aku tak tahu, ujarnya. Bibir indah itu kembali terkatup, bibir yang sering mengundang birahi dan decak iri. Seandainya aku bisa memilih, aku pun akan mengatakan tidak, ujarnya lirih.

kuterjemahkan bisu itu menjadi bait rajutan kata-kata. Membisikan sebuah rahasia yang membuatku semakin ngeri ketika ku telusuri setiap inchi yang terpahat dalam dinding-dinding malam.

Seakan merasuki sebilah desah gelisah dalam kubur yang telah terbangun berabad silam. Aku diam, dia diam, kami pun bisu sama-sama terkurung dalam labirin pikiran masing-masing.

Yang kutakutkan terjadi, seperti matahari yang menanam takut-takut pada hemofili. Dia mencintaiku sementara aku tidak.

Ah, perempuan, desahku, andai dapat kubagi secuil rasa itu untukmu. Pasti sudah kucungkil dari nukleus yang paling dalam dari inti sel tubuhku. Tapi aku tak bisa.

Diam masih menggenang diruangan empat kali empat. Dimana kerongkongan terasa tercekat. Senja yang mengantarkan sebuah kuning, namun bukan harapan, tapi luka.

Jujur aku juga tak ingin melihat keping merah jambu itu terkoyak. Apalagi akal sehatku berkata dia begitu menggoda. Ia pantas, bahkan sangat pantas dicintai. Tapi bukan olehku.

Dia berada diantara gemerlap bintang-bintang hangat. ia terbang selamanya di langit beludru gelap Tapi aku, grafitasi sialan menghempaskannya ke lembah.

Puih aku hanya bisa berkata seandainya aku bisa mencintai seorang perempuan sebagai seorang kekasih. Sementara aku juga seorang perempuan. Perempuan yang tenggelam dalam sebuah gerimis yang tercetak miris.

Tidak ada komentar: