Kamis, 19 Juni 2008

Senja Di Balik Jendela



Nothing takes the flavor out of peanut butter quite like unrequited love

Tiara masih duduk ditepi jendela, memandangi jakarta yang basah. Tetes rinai hujan beberapa masih jatuh dari langit berwarna abu-abu. Tuhan sepertinya sedang menyukai warna abu-abu, batin Tiara.

Jauh dibawah sana, puluhan bahkan ratusan binatang bertubuh besi berjejer mengantri. Bagi yang tak sabar, mencoba menyalip dari kanan atau kiri. Tett..tett..anjing..pukimak kau, segala caci maki dan kata-kata kebun binatang terucap. Anehnya, kata-kata kasar itu bukan hanya terlontar dari bocah bertubuh ceking yang menawarkan ojek payung, atau bapak penjual rokok dengan tangan bertato, tapi juga dari pria berdasi di dalam mobil mercy. “Ah, apa mungkin mulut pria itu tak sempat mengecap bangku sekolahan.”

Tiara diam, seharusnya dia berada dibawah sana berjibaku melewati kemacetan Jakarta. Tapi ada sesuatu yang menahannya disini, di dalam ruang 3x6 berwarna jingga dengan pintu berwarna cokelat.

Ia menyukai jingga, sebagaimana ia menyukai senja. Semburat yang memberikan langit warna berbeda. Dimana ada senja, disitu ada keping merah jambu yang turun perlahan, pelan-pelan dia tenggelam dan akhirnya hilang dibalut malam.

Tak ada yang tahu kapan pemandangan senja kembali. Tiara jadi berpikir, mungkin itu yang membuat Sukab jadi kalap untuk memotong senja dengan pisau lalu menempelkannya pada sebuah kartu pos, dan mengirimkan pada kekasihnya.

Tetapi sayangnya senja itu sampai terlambat karena tukang pos tergoda untuk membukanya, dan tenggelam di negeri senja hingga ribuan tahun. Dan lebih menyakitkan lagi, perempuan itu tidak mencintai sukab.

“Sukab tidak salah, demikian juga tukang pos itu, keindahan senja memang luar biasa, bahkan membuat buta dan menuntut sebuah kegilaan. Kegilaan sama akan kau rasakan ketika jatuh cinta,” tutur Tiara disuatu ketika.

Kegilaan yang sama memacu Romeo dan Juliet, serta Roro Mendut serta Pronocitro menjadikan mati bersama sebagai sesuatu yang indah. Beratus cerita, beribu lagi muncul sebagai ekspresi dari perasaan cinta.

Tapi bagaimana bila cinta itu tak berbalas, seperti cinta Datuk Maringgih pada Siti Nurbaya atau cinta Brutus pada Olive. Adakah yang mau tahu perasaan mereka, rasanya tidak, orang lebih suka membahas cinta yang berakhir bahagia, tak ada tempat untuk memikirkan nasib cinta yang bertepuk sebelah tangan.

******

Mayang menatap genangan air di tepi jalan, begitu deras, memaksa mengalir kedalam got-got penuh sampah. Diatasnya tampak sekelompok anak bertelanjang dada bermain bola, cipratan air berwarna cokelat tua itu seolah ramuan bisa membuat mereka tertawa.

Mereka basah, dingin dengan sigap merayap di tubuh ceking berwarna legam. Mayang tak yakin perut-perut buncit itu telah penuh diisi nasi, ia lebih yakin jika perut-perut buncit itu berisi cacing. Tapi Mayang melihat mereka bahagia, tak seperti dirinya yang meskipun kering dan hangat, tapi tetap saja seperti ruangan hampa udara.

Telepon genggam Mayang berderit, ia pun kembali terhempas ke dunia nyata.

“Aku mau ke Yogya minggu depan”

“Ngapain?”

“Ketemu kamu”

“Jangan, nanti saja biar aku saja yang ke Jakarta”

“Tapi aku kangen kamu”

“Aku juga kangen,tapi..”

Tut..tut..tut baterai yang habis menutup paksa pembicaraan dengan tidak sempurna. Mayang kembali diam, ada riak-riak yang bergelanyut dibenaknya.

“Ke stasiun Pak” ujarnya memerintah supir.

*******

Dewa menatap langit-langit kamar bertabur glow in the dark. Hanya langit-langit bukan langit yang bertabur bintang. Tak ada cahaya putih bulan, cuma cahaya lampu neon yang menyelinap dari balik tirai jendela.

“Kamu mikirin dia” tanya gadis dalam peluknya.

“Tadi siang aku nelpon dia”

“Terus”

“Dia mau ke Jakarta”

“Wah berarti aku nggak bisa nginap lagi disini dong”

Dewa tak menjawab. Diciumnya rambut si gadis.

Si gadis menghela nafas. Dewa bisa mendengar ada luka disana.

Dipereratnya pelukan ketubuh si gadis. Kulit yang telanjang saling bersentuhan, birahi pun terpercik. Si gadis mencium bibir Dewa.

“Ayo tidur besok kamu harus wawancara” kata Dewa menghentikan saat bibir si gadis mulai merambat ke dada.

Si gadis langsung berbalik. Api birahi serta merta padam. Bulir bening mengalir dari kedua matanya yang legam.

*******

Tiara memandang lekat-lekat perempuan dihadapannya, seakan ingin menguliti apa yang ada di setiap incinya. Legam matanya jelas memancarkan sebuah luka bercampur tanya yang membaluri hatinya. Apa yang dimiliki perempuan ini, sehingga laki-laki itu betul-betul bertekuk lutut, apakah ia Medusa dengan hiasan ular di kepala ataukah Dewi Sri, yang menentukkan kesuburan padi.

“Bisa kita mulai wawancaranya?” tanya perempuan itu sembari menatap mata Tiara. Tiara tahu jawabannya. Perempuan itu Medusa, ia bisa melihat ada bisa disela giginya.

Tiara yakin dibalik rambutnya yang terurai panjang bersembunyi ular-ular kecil yang mematikkan. Pasti, salah satu ular itu yang menghisap seluruh cinta dalam tubuh Dewa dan tak menyisakan setitik pun untuk Tiara.

Tiara yakin dan ia benci itu. Ular-ular itulah yang menemani Dewa tidur tadi malam. Ular-ular itulah yang mencium serta melumat habis bibir Dewa. Tak hanya itu Tiara yakin ular-ular itu pasti nakal, mereka akan menyusup ke balik selimut lalu masuk diantara dua selangkangan dan menghisap sari-sari kehidupan Dewa sampai kering.

Tiara yakin, namun ia tak bisa mencegahnya. “Apa yang membedakan novel anda dengan novel lain yang spernah ada,” hanya itu yang terlontar dari bibirnya.

*******

“Tadi aku diwawancara perempuan bermata legam sama seperti lukisanmu, entah mengapa perasaanku yakin kalau kau mengenalinya”

Dewa diam. Ia tahu perempuan bermata legam itu Tiara, sama dengan perempuan dalam lukisannya.

“Ada banyak perempuan bermata legam di Jakarta”

“Tapi entah mengapa aku yakin dia yang ada dalam lukisanmu”

“Kau cemburu?”

“Iya, kau tahu betapa aku mencintaimu”

“Tapi aku tak pernah mengeluh, meski aku cemburu dengan suamimu” ujar Dewa datar.

Mayang membuang muka keluar, dilihatnya hamparan langit jingga yang membentang. Pemandangan sama tengah dinikmati Tiara dari balik jendela.