Senin, 04 Agustus 2008

Ode Buat Monyet


“Aku pamit. Semoga loe bisa mempertahankan idealisme sebagai seorang jurnalis di kota yang suck kaya Jakarta”

Pesan pendek itu masuk dalam telepon genggamku jam1 dini hari. Setengah sadar ku baca, ada hampa yang menggenang di kepala. Satu lagi sahabat hilang ditelan oleh monster bernama Jakarta, tanah merah yang telah berganyang beribu kepala.

*****

Urban Jazz Crossover, sebuah acara musik yang mengawinkan antara jazz dengan musik-musik urban seperti rock, pop, hip-hop bahkan dance. EQ Puradiredja, sang sutradara di balik layar menawarkan sebuah Ide gila dengan mengubah lagu Radja yang berirama rock menjadi swing atau membawakan Smell Like Teen Spiritnya dengan alunan saxsofon.

Aku, salah satu manusia urban yang ikut menyempal kepadatan kota Jakarta tertarik menonton pertunjukkan akrobat musik tersebut. Meski tak yakin bisa mencerna alunan musik kelas atas tersebut, setidaknya aku bisa melemaskan urat syaraf yang enam hari kebelakang dipaksa untuk terus tegang.

Tapi tentu saja aku tak mau konyol tenggelam diantara para sosialita, aku butuh satu orang teman yang kastanya sederajat untuk menemaniku menikmati pertunjukkan itu. Maka ku kirim pesan pendek pada dua orang teman Gendut dan Monyet berisi ajakan untuk menonton.

Lima menit, setengah jam, tiga jam tak ada jawaban. Mungkin mereka malas menemani, tapi juga enggan berbasa-basi menolak. Tidak membalas pesan merupakan salah satu cara jitu untuk menolak ajakan. Kantuk semakin pekat hinggap dimataku, aku menyerah.

Dengan mata sayup yang masih terbuka setengah, kuambil telepon genggam yang mencicit dengan rakus. Sebuah pesan pendek tertulis dilayar monitor : “Maaf aku nggak bisa Tet. Besok aku pulang ke Yogya, tanggal 23 aku resign dari HOL”

Masih setengah ling-lung ku letakkan kembali alat komunikasi yang sudah menjadi kebutuhan primer abad 21 ini. Ku biarkan tubuhku kembali rebah, sementara benakku melayang kepada dia serta jalinan yang pernah diuntai.

Dia, pria sederhana yang membuat aku jatuh cinta pada Jawa. Pada tubuhnya kutemukan dua kutub yang saling bertentangan, antara feodalisme khas Jawa dan keterbukaan ala barat. Semua menyatu dalam sel abu-abu yang ada di kepalanya dan menjadi daya tarik tersendiri.

Awalnya aku menganggapnya lelaki biasa, dijual obral sepuluh ribu empat dan bisa dengan kudapatkan dengan mudah di emperan Senen atau Pasar Baru. Laki-laki dengan mulut penuh ular-ular kebusukan yang selalu haus akan selangkangan atau laki-laki yang bisa membuatmu mati kebosanan, karena omongannya mirip dengan khotbah jumat di DPR. Underestimate maupun apriori menjadi bagian dalam diriku semenjak dua tahun menetap di Jakarta, ah lagi-lagi aku menyalahkan kota tempatku mencari makan.

Aku lupa dari mana kedekatan itu berawal, tahu-tahu kami sudah terjebak dalam perdebatan realis magisnya Marques. Tiba-tiba saja masing-masing dari kami sudah punya panggilan sayang, dia ku panggil monyet dan dan dia memanggilku Kuntet.

Dia teman yang menyenangkan untuk diajak menghabiskan malam-malam Jakarta. Sedikitnya tawa kami yang mengembang di langit-langit Jakarta mengurangi kadar karbondioksida maupun timbal yang keluar dari pantat dinosaurus berlabel mercy, mikrolet ataupun bajaj.

Sebotol bir atau secangkir kopi kerap kali menjadi teman kami bercerita, mulai dari kisah Soeharto yang mangkir tiga minggu waktu dipanggil Tuhan. Sehingga bukan hanya wartawan atau perawat yang bergantian berjaga tapi juga malaikat maut. “Jangankan dipanggil jaksa agung, dipanggil Tuhan aja Soeharto mangkir,” ujar dia kelakar.

Dan aku tersenyum mengingatnya.

Pernah suatu saat kami membahas mengenai seks dan selangkangan. Monyet berpikir seharusnya manusia tidak perlu menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan istimewa. “Perlakukan seks layaknya kebutuhan biologis lainnya seperti makan, minum atau buang air,” ujarnya.

Bukankan makan, minum maupun buang air juga memiliki aturan yang harus ditaati. Kalau tidak mau muka bengkak-bengkak biru atau setidaknya diteriakin maling, untuk makan di restoran tentu harus membayar –kalau nggak pasti wartawan yang sedang ikut konpes -

Begitu pula kalau buang air, orang waras tentu tidak akan buang air di sembarang tempat. Meski sudah kebelet, setidaknya ia akan memilih tempat tertutup dan sepi. “Tentu lo nggak akan beol di depan kelas kan,” kata Monyet.

Seks seperti makan, tergantung selera. Selera juga bisa datang begitu saja, tanpa alasan yang logis.

Huh Monyet, lelaki bertubuh padat yang kerap mengundang birahi para perempuan – ingat waktu kita dugem di X2 banyak tante yang ngedeketin lo J- . “Lo tuh asik untuk diajak temenan dan diajak tidur, tapi bukan untuk dipacari,” ujarku.

“Sok tau lo, mang pernah pacaran ma gue. Lagian gue juga nggak mau tidur ma lo”

“ya udah kita pacaran aja untuk membuktikannya” tantangku

“Hua jauhkan gue dari mimpi buruk itu” kata Monyet yang gue yakin bukan dari hatinya yang terdalam.

****

Sepekan setelah kepergiannya kuputuskan untuk menghubungi Monyet. Ku tekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala.

“Lo baik-baik aja kan”

“Yups”

“Syukurlah..” dan kami bercerita panjang tentang obsesi dan alasannya meninggalkan belantara Jakarta.

“Kalau lo baik-baik aja, gue dukung lo pindah Nyet” ujarku

“Kalau lo nggak dukung mang ngaruh buat gue,”

Monyet nggak berubah dan semoga nggak akan berubah.

“Btw Nyet, gue masi pengen makanan Yogya lho,”

1 komentar:

Ratih Kumala mengatakan...

Kamu suka banget ama 'senja' ya kelihatannya... :)

salam,
http://ratihkumala.com