Rabu, 06 Agustus 2008

Lelaki Paruh Baya dan Eksotisme Pria Jawa


Jika para perempuan sering berteriak histeris melihat kegtampanan Dude Herlino atau tubuh liat VJ Evan, entah kenapa beberapa waktu belakangan ini saya lebih tertarik dengan lelaki-lelaki berusia matang. Penampilan yang matang ditambah kerut serta gurat-gurat diujung mata malah menambah kesan seksi mereka.

Perubahan selera saya terhadap laki-laki, mungkin terjadi seiring bertambahnya usia –halah kaya umur gue berapa aja- . Jika beberapa waktu lalu saya bisa orgasme melihat laki-laki tipe pemain band seperti Armand Maulana atau Erik Samsons, tapi kini mereka terlihat biasa saja dimata saya.

Tapi tentu bukan sembarang lelaki berusia matang yang membuat saya tertarik. Banyak laki-laki berusia matang yang berstatus singel, duda maupun doubel berceceran disekitar saya, sayangnya tak satupun yang memancing harsat saya untuk menggoda. Ketika menjalankan tugas, tanpa diduga satu dua kali saya bertemu dengan lelaki berusia matang yang memiliki pesona luar biasa dan kebanyakan mereka berdarah Jawa. Ah, saya masih terkena kutukan eksotisme pria Jawa.

Lelaki matang yang pertama kali membuat saya jatuh cinta adalah sutradara Garin Nugroho. Saya pertama kali bertemu dan berkenalan dengan sutradara Opera Jawa di sebuah cafe dibilangan Veteran. Awalnya saya cukup keder untuk menghampiri ayah tiga orang anak ini, maklum Garin merupakan tokoh perfilman tanah air yang saya anggap hebat.

Meski banyak pendapat yang mengatakan film-film Garin sekedar onani dan hanya dimengerti segelintir orang, namun saya tetap melihat sosok kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 ini sebagai maestro dibidangnya. Dengan mengumpulkan keping-keping keberanian saya menghampiri ayah dari Kamila Andini ini. “Oh kamu anak buahnya Taufik Rahzen,” ujarnya ramah ketika saya menyebut di institusi mana saya bekerja.

Obrolan panjang kemudian mengalir, Garin bertutur mengenai pengalaman masa kecilnya yang pelupa, ayahnya yang dituduh PKI hingga romantisme percintaannya. “Aku menikah dengan sahabat adikku,” kata pria yang pernah diisukan memiliki anak hasil penikahan sirinya di Bandung.

Saya terpesona, benar-benar terpesona. Apalagi ketika Garin mulai mendongeng tentang film, pasar dan bunuh diri. Ada sisi lain yang belum pernah dijamah oleh otak saya tersaji dengan manis melalui penuturannya. “Kamu harus merasakan sakit, dengan merasakan sakit kamu akan merasa hidup” ujar Garin.

Jarum jam berdentang sepuluh kali, tanda malam semakin larut. Sebenarnya saya enggan undur diri, tapi bagaimanapun saya harus pulang. Saya meninggalkan Garin dengan segala pesonanya.

Lelaki kedua yang membuat saya tertarik adalah penyair Afrizal Malna. Sebelum berkenalan dengan laki-laki berkepala plontos ini saya terlebih dahulu membedah karya-karyanya, namun saya belum merasakan getar istimewa. “Tak ada anjing dalam rahim ibuku”

Saya bertemu langsung dengan lelaki kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 pada sebuah pelatihan penulisan essay sastra yang diadakan beberapa waktu lalu di Solo. Sebetulnya Afrizal tak dijadwalkan hadir, namun karena pembicara lain Katrin Bandels tidak bisa hadir maka pria berdarah padang ini didaulat untuk menggantikannya.

Afrizal memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi.

Tak hanya ketika menulis, ketika bercakap dengan Afrizal saya juga harus ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya. Tapi hal itu menyenangkan, sebagaimana mencicipi strobery di atas kue tar. Secara tidak langsung Afrizal mengajarkan saya bahwa menjadi tidak jamak itu menyenangkan.

Beberapa pekan lalu Afrizal berkunjung ke Jakarta –walau dalam alam pikirannya ia tidak mengenal kota- Kami kembali bercakap panjang di rumahnya yang asri di kawasan Blok M. Karena kemacetan ibu kota saya terlambat satu jam, tapi Afrizal tetap menyambut dengan senyum ramah.

Kami berbincang seolah telah sekian puluh tahun saling mengenal –padahal saya baru kenal dia dalam hitungan bulan- Secangkir capucino menemani obrolan kami, “Awas panas,” ujarnya sembari terkekeh.

Afrizal membuka mata saya tentang dunia lain yang tak tersentuh. Perhatiannya dengan hal-hal kecil membuat saya terbelalak kagum. Bagaimana seorang perempuan tua yang menanam tomat bisa menjadi cerita yang menarik. Atau dongeng liris tentang kematian kedua orang tuanya dan bagaimana rasanya menjadi orang minang yang terbuang.

Sayang siang itu saya harus bertemu dengan kepala BKPM Lutfie, suami dari artis artis cantik Bianca Adinegoro. Kalau tidak pasti saya bisa lebih lama terbuai dengan cerita Alice In The Wonderland ala Afrizal.

Lelaki berikutnya yang menarik perhatian saya adalah Seno Gumira Ajidarma. Sejak duduk dibangku kuliah saya sudah berkenalan dengan pencipta tokoh Sukab ini. Bermula ketika seorang pangeran dari negeri senja –damn, gue belon bisa lupa ma ni orang- memberi buku Sepotong Senja Buat Pacarku, saya langsung jatuh cinta pada Seno melalui karya-karyanya.

Saya baru diizinkan Tuhan bertemu dengan pria kelahiran Boston 19 Juni 1958 ketika pengujian Undang-undang Perfilman di Mahkamah Konstitusi Jakarta. Waktu itu ayah dari Timur Angin ini jadi saksi yang diajukan Masyarakat Film Indonesia. Meski nggak sempat ngobrol lama, saya cukup terpana melihat sosok fotografer yang masih tampak menarik diusianya yang memasuki setengah abad.

Senin malam kemarin saya kembali bertemu dengan lelaki berusia matang tetapi masih menarik. Dia adalah Andreas Darwis Triadi. Di awal pekan, ayah dua orang putri ini tampak asyik menikmati malam syahdu dibalut alunan denting piano. Dari balik cahaya temaram yang membasahi Fashion Bar pemilik Darwis Triadi School of Fotography ini terlihat lebih mempesona.

Seperti biasa awalnya saya ragu untuk menghampiri pria kelahiran Solo 15 Oktober 1954 ini, namun keramahannya menyapa satu dua pengunjung yang datang membuat saya berani untuk nekat. Tak seperti yang saya bayangkan, ternyata penyuka jajanan pasar ini merupakan pribadi yang menyenangkan.

Tanpa sungkan ia berbagi cerita, mulai dari kisah masa kecilnya yang berasal dari keluarga sederhana hingga jatuh bangun usahanya meniti karir. “Saya pernah merasakan menjadi orang susah, bahkan untuk bayar sekolah saja sulit,” ujarnya sembari menghisap rokok yang terselip antara telunjuk dan jari manisnya.

Saya ragu ketika apakah Darwis mau menjawab ketika saya bertanya mengenai masalah rumah tangganya. Darwis sempat tertunduk, kemudian kata-kata mengalir dari bibir hitamnya. “Saya pernah mengalami beberapa fase sulit dalam hidup, tapi saya memang selalu mempersiapkan diri untuk sesuatu yang terburuk,” kata Darwis.

Kini Darwis mengaku tengah berusaha bangkit kembali, mengumpulkan puing yang sempat hilang. Untuk melewati masa-masa itu tentu ia butuh teman, setidaknya seseorang yang bisa diajak berbagi. “Saya punya teman dekat, tapi belum berencana untuk menjalin lebih dari itu,” tutur dia.

Duda Keren

Dua sosok lain rentang usianya tak terlalu jauh dengan saya, tapi bisa terbilang cukup matang. Mereka tampak memikat dengan segudang prestasi dibidang yang digelutinya. Sebut saja nama Dimas Djayadiningrat dan Hanung Bramantyo.

Dimas saya temui disuatu malam menjelang pagi. Meski tampak lelah sepulang syuting iklan di luar kota, mantan kekasih penyanyi Shanty ini tetap berceloteh dengan seru. Tak hanya lesunya industri video klip tanah air yang dituturkan pria kelahiran 24 Agustus 1973 ini, tapi juga mengenai perjalanan karir serta sikap perfeksionisnya.

Ditengah percakapan Dimas berujar, “Umur lo berapa sih Ty.”

“23” jawabku singkat.

“Anjir beda 13 tahun, pantesan gue berasa ngobrol ma ABG,” ujarnya sembari tergelak.

“Yee bukan gue yang ABG, tapi lo nya yang tua”

Dimas juga tampak tersipu ketika aku mengaku mengikuti perjalanan karirnya sejak awal, rese lo Ty, hanya itu yang diucapkan untuk menutupi raut wajah yang semu.

Hanung saya temui disebuah mall di Jakarta. Awalnya saya hanya berniat wawancara lewat telpon, namun ternyata kekasih Saskia Adya Mecca ini mau menyempatkan diri untuk bertemu langsung. “Saya ada di XXI PIM II nanti sore, kita ketemu disana aja,” kata Hanung.

Petang itu Hanung tampak menarik dibalut kemeja putih dan celana jeans. Setelah membeli tiket kami memutuskan untuk membunuh waktu di cafe terdekat. Hanung memesan hot lemon tea dan saya memesan segelas capucino dingin. Ternyata sutradara film Ayat-ayat Cinta ini memiliki kisah perjalanan hidup yang tak kalah fenomenal dari film besutannya.

Cinta, datang dan pergi menghampiri pria berdarah Jawa ini. Hanung sempat menikah pada usia muda hingga dikaruniai seorang anak bernama Bumi. “kami memutuskan untuk berpisah, ternyata untuk menjalin sebuah hubungan tak cukup hanya bermodalkan cinta,”

Ia juga menunjukkan cerita pendeknya yang berjudul layang-layang. Ceritanya cukup menarik dan “liar”.

“Dari pengalaman pribadi,” tanyaku. Hanung hanya tersenyum.

Puih, sebenarnya ada satu sosok lagi. Tapi secara usia dia belum terbilang matang, baru memasuki kepala tiga. Dia bukan orang terkenal, yang kalau namanya disebut orang akan langsung tahu. Dia hanya penulis tidak terkenal dari Yogya. Perawakannya juga tidak istimewa, meski seorang teman mengatakan sekilas dia mirip Piyu Padi –saya curiga mata teman saya menderita katarak-

Saya mengenal dia sekitar dua tahun silam, tapi kami baru dekat sekitar setahunan. Dalam rentang itu hubungan kami fluktuatif dan selalu berputar pada lingkaran setan. Saya ingin dia pergi dari kehidupan, tapi sesaat kemudian sayalah yang berteriak ingin dia kembali.

Akhir bulan Juni silam Tuhan memberikan kado istimewa bagi saya, yaitu bersama dia. Memang tak lama, hanya sekitar tiga jam. Tapi saya bahagia, meski setelah itu dia kembali menghilang...

2 komentar:

fairuzul mumtaz mengatakan...

komentar pertama seru tuh! hahaha...
membuatku tak jadi coment! hahaha.... tapi kalo menurutku, pasang iklan jodoh aja...

Anonim mengatakan...

hai, salam kenal yah

Hmm,
senang dengan laki-laki Jawa. Mungkin lain kali bisa bikin topik di mana kamu mengelaborasikan apa saja yang membuat kamu tertarik dengan mereka. mungkin bisa jadi topik menarik.

nice blog ;)