Minggu, 31 Agustus 2008

Marcell dan Agama



Saya kurang mampu berbasa-basi. Saya adalah pribadi yang punya kecenderungan tertutup. Saya harus merasa aman dan nyaman dulu baru bisa terbuka

Kalimat di atas saya kutip dari blog Marcell Siahaan, suami penyanyi Dewi Lestari. Membacanya membangunkan ingatan saya tentang Ia. Ia, sosok yang mengisi hari-hari saya dua tahun belakangan ini.

Ia bukan penyanyi, tapi punya tiga kesamaan dengan Marcell : batak, tertutup dan memiliki rambut ikal J. Dua tahun menjalin hubungan tentu bukan waktu yang singkat, jatuh bangun sampe nyungsep pernah kami rasakan. Entah mengapa dan untuk apa kami masih memutuskan untuk bersama.

Dia adalah penganut Katolik yang taat, sementara saya adalah muslim yang tidak terlalu taat

Perbedaan agama membuat saya ragu untuk melangkah lebih jauh dengan dia. Saya tahu, selalu ada pemakluman-pemakluman atas nama cinta, seperti saya dengan ikhlas menemani dia menjalani kebaktian di Gereja atau dia dengan senang hati menghormati ibadah puasa yang saya lakukan.

Tapi apa keluarga kami juga bisa melakukan toleransi yang sama? Ibu saya terang-terangan menolak hubungan ini. Tentu butuh ketegaan yang ekstra untuk menyakiti hati perempuan yang dengan sudah susah payah melahirkan dan membesarkan saya. apalagi konon katanya surga ada di telapak kaki ibu.

Ibu dan keluarga Ia juga belum tentu suka dengan saya. Mereka pasti lebih senang jika Ia menikah dengan gadis satu gereja yang marga Siahaan atau Manurung.

“Dinding pemisah kalian budaya, bukan agama,” kata Joko Pinurbo saat kami duduk di warung kopi pada suatu senja.

Mungkin juga..

Angan saya melayang pada Dia. Dia yang tahun lalu pernah mengemukakan tawaran “gila” pada saya. Tawaran gila yang membuat saya tersenyum bila mengingatnya.

Dia juga katolik, meski tidak taat seperti Ia. Setidaknya Dia pernah memimpin doa waktu ada kebaktian di rumahnya. Keluarga Dia juga cukup plural, seolah agama hanyalah cangkang dan yang terpenting adalah pelaksanaannya. –tidak ada agama yang mengajarkan hambanya berbuat hal buruk-

Ajakan gila yang Dia tawarkan adalah menikah. Iya menikah –bagi orang yang mengenal Dia pasti akan terbahak-.

Dia berjanji menikahi saya dengan cara Islam. Dia juga berjanji mengganti kolom agama di KTP nya dengan tulisan Islam. Tentu hanya di KTP karena jika ingin beribadah tentu Ia akan memilih beribadah dengan cara katolik, Ia sudah berlangganan agama itu selama hampir 30 tahun. Dia juga menyatakan tidak akan keberatan kalau semua anak kami mengikuti kepercayaan saya.

Kalau kamu butuh imam sholat aja di masjid, nanti kalau anak kamu dah besar kan dia bisa jadi imam kamu. Lagian islamkan bukan sekedar nikah seagama atau nggak makan babi

Sayangnya hubungan saya dan Dia tak berjalan langgeng. Meski hingga kini kami masih jalan beriringan, namun kami lebih memilih memberi label teman, tak lebih sehingga No hug, No Kiss.

Ia berbaik hati menemani saya nonton jazz dan tak keberatan bila saya berteriak histeris melihat Glenn Fredly. Ia juga tak keberatan untuk merogoh kocek agak dalam untuk sekedar mentraktir makan sea food –i love sea food so much-.

Jujur kadang saya rindu saat-saat bersama Ia. Kadang saya berpikir akan menjawab, yes i will ketika dia mengajukan tawaran seperti tahun lalu. Tapi tawaran itu tak berulang, mungkin takkan pernah berulang.

Oya Ia juga punya dua kesamaan dengan Marcell, dia pendiam, tertutup dan berambut ikal –tapi dia Jawa-.

Rabu, 06 Agustus 2008

Lelaki Paruh Baya dan Eksotisme Pria Jawa


Jika para perempuan sering berteriak histeris melihat kegtampanan Dude Herlino atau tubuh liat VJ Evan, entah kenapa beberapa waktu belakangan ini saya lebih tertarik dengan lelaki-lelaki berusia matang. Penampilan yang matang ditambah kerut serta gurat-gurat diujung mata malah menambah kesan seksi mereka.

Perubahan selera saya terhadap laki-laki, mungkin terjadi seiring bertambahnya usia –halah kaya umur gue berapa aja- . Jika beberapa waktu lalu saya bisa orgasme melihat laki-laki tipe pemain band seperti Armand Maulana atau Erik Samsons, tapi kini mereka terlihat biasa saja dimata saya.

Tapi tentu bukan sembarang lelaki berusia matang yang membuat saya tertarik. Banyak laki-laki berusia matang yang berstatus singel, duda maupun doubel berceceran disekitar saya, sayangnya tak satupun yang memancing harsat saya untuk menggoda. Ketika menjalankan tugas, tanpa diduga satu dua kali saya bertemu dengan lelaki berusia matang yang memiliki pesona luar biasa dan kebanyakan mereka berdarah Jawa. Ah, saya masih terkena kutukan eksotisme pria Jawa.

Lelaki matang yang pertama kali membuat saya jatuh cinta adalah sutradara Garin Nugroho. Saya pertama kali bertemu dan berkenalan dengan sutradara Opera Jawa di sebuah cafe dibilangan Veteran. Awalnya saya cukup keder untuk menghampiri ayah tiga orang anak ini, maklum Garin merupakan tokoh perfilman tanah air yang saya anggap hebat.

Meski banyak pendapat yang mengatakan film-film Garin sekedar onani dan hanya dimengerti segelintir orang, namun saya tetap melihat sosok kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 ini sebagai maestro dibidangnya. Dengan mengumpulkan keping-keping keberanian saya menghampiri ayah dari Kamila Andini ini. “Oh kamu anak buahnya Taufik Rahzen,” ujarnya ramah ketika saya menyebut di institusi mana saya bekerja.

Obrolan panjang kemudian mengalir, Garin bertutur mengenai pengalaman masa kecilnya yang pelupa, ayahnya yang dituduh PKI hingga romantisme percintaannya. “Aku menikah dengan sahabat adikku,” kata pria yang pernah diisukan memiliki anak hasil penikahan sirinya di Bandung.

Saya terpesona, benar-benar terpesona. Apalagi ketika Garin mulai mendongeng tentang film, pasar dan bunuh diri. Ada sisi lain yang belum pernah dijamah oleh otak saya tersaji dengan manis melalui penuturannya. “Kamu harus merasakan sakit, dengan merasakan sakit kamu akan merasa hidup” ujar Garin.

Jarum jam berdentang sepuluh kali, tanda malam semakin larut. Sebenarnya saya enggan undur diri, tapi bagaimanapun saya harus pulang. Saya meninggalkan Garin dengan segala pesonanya.

Lelaki kedua yang membuat saya tertarik adalah penyair Afrizal Malna. Sebelum berkenalan dengan laki-laki berkepala plontos ini saya terlebih dahulu membedah karya-karyanya, namun saya belum merasakan getar istimewa. “Tak ada anjing dalam rahim ibuku”

Saya bertemu langsung dengan lelaki kelahiran Jakarta, 7 Juni 1957 pada sebuah pelatihan penulisan essay sastra yang diadakan beberapa waktu lalu di Solo. Sebetulnya Afrizal tak dijadwalkan hadir, namun karena pembicara lain Katrin Bandels tidak bisa hadir maka pria berdarah padang ini didaulat untuk menggantikannya.

Afrizal memperlakukan puisinya sebagai instalasi kata-kata dan mozaik gambar-gambar yang tak selalu saling punya hubungan linier ataupun ikatan antarkata dan antarfrasa yang tertib dan masuk akal, sehingga struktur bangunan dan logika puisinya cenderung fragmentaris dan sering absurd, cenderung tak hendak menyerupai suatu bangunan bahasa yang integral dan cocok dengan segala hukum representasi.

Tak hanya ketika menulis, ketika bercakap dengan Afrizal saya juga harus ekstra waspada dan siap-siap untuk melompat ke sana dan ke sini, agar bisa tetap mengikuti arah bahasa dan tebaran imajinasi dalam arus lalu lintas penulisan puisinya. Tapi hal itu menyenangkan, sebagaimana mencicipi strobery di atas kue tar. Secara tidak langsung Afrizal mengajarkan saya bahwa menjadi tidak jamak itu menyenangkan.

Beberapa pekan lalu Afrizal berkunjung ke Jakarta –walau dalam alam pikirannya ia tidak mengenal kota- Kami kembali bercakap panjang di rumahnya yang asri di kawasan Blok M. Karena kemacetan ibu kota saya terlambat satu jam, tapi Afrizal tetap menyambut dengan senyum ramah.

Kami berbincang seolah telah sekian puluh tahun saling mengenal –padahal saya baru kenal dia dalam hitungan bulan- Secangkir capucino menemani obrolan kami, “Awas panas,” ujarnya sembari terkekeh.

Afrizal membuka mata saya tentang dunia lain yang tak tersentuh. Perhatiannya dengan hal-hal kecil membuat saya terbelalak kagum. Bagaimana seorang perempuan tua yang menanam tomat bisa menjadi cerita yang menarik. Atau dongeng liris tentang kematian kedua orang tuanya dan bagaimana rasanya menjadi orang minang yang terbuang.

Sayang siang itu saya harus bertemu dengan kepala BKPM Lutfie, suami dari artis artis cantik Bianca Adinegoro. Kalau tidak pasti saya bisa lebih lama terbuai dengan cerita Alice In The Wonderland ala Afrizal.

Lelaki berikutnya yang menarik perhatian saya adalah Seno Gumira Ajidarma. Sejak duduk dibangku kuliah saya sudah berkenalan dengan pencipta tokoh Sukab ini. Bermula ketika seorang pangeran dari negeri senja –damn, gue belon bisa lupa ma ni orang- memberi buku Sepotong Senja Buat Pacarku, saya langsung jatuh cinta pada Seno melalui karya-karyanya.

Saya baru diizinkan Tuhan bertemu dengan pria kelahiran Boston 19 Juni 1958 ketika pengujian Undang-undang Perfilman di Mahkamah Konstitusi Jakarta. Waktu itu ayah dari Timur Angin ini jadi saksi yang diajukan Masyarakat Film Indonesia. Meski nggak sempat ngobrol lama, saya cukup terpana melihat sosok fotografer yang masih tampak menarik diusianya yang memasuki setengah abad.

Senin malam kemarin saya kembali bertemu dengan lelaki berusia matang tetapi masih menarik. Dia adalah Andreas Darwis Triadi. Di awal pekan, ayah dua orang putri ini tampak asyik menikmati malam syahdu dibalut alunan denting piano. Dari balik cahaya temaram yang membasahi Fashion Bar pemilik Darwis Triadi School of Fotography ini terlihat lebih mempesona.

Seperti biasa awalnya saya ragu untuk menghampiri pria kelahiran Solo 15 Oktober 1954 ini, namun keramahannya menyapa satu dua pengunjung yang datang membuat saya berani untuk nekat. Tak seperti yang saya bayangkan, ternyata penyuka jajanan pasar ini merupakan pribadi yang menyenangkan.

Tanpa sungkan ia berbagi cerita, mulai dari kisah masa kecilnya yang berasal dari keluarga sederhana hingga jatuh bangun usahanya meniti karir. “Saya pernah merasakan menjadi orang susah, bahkan untuk bayar sekolah saja sulit,” ujarnya sembari menghisap rokok yang terselip antara telunjuk dan jari manisnya.

Saya ragu ketika apakah Darwis mau menjawab ketika saya bertanya mengenai masalah rumah tangganya. Darwis sempat tertunduk, kemudian kata-kata mengalir dari bibir hitamnya. “Saya pernah mengalami beberapa fase sulit dalam hidup, tapi saya memang selalu mempersiapkan diri untuk sesuatu yang terburuk,” kata Darwis.

Kini Darwis mengaku tengah berusaha bangkit kembali, mengumpulkan puing yang sempat hilang. Untuk melewati masa-masa itu tentu ia butuh teman, setidaknya seseorang yang bisa diajak berbagi. “Saya punya teman dekat, tapi belum berencana untuk menjalin lebih dari itu,” tutur dia.

Duda Keren

Dua sosok lain rentang usianya tak terlalu jauh dengan saya, tapi bisa terbilang cukup matang. Mereka tampak memikat dengan segudang prestasi dibidang yang digelutinya. Sebut saja nama Dimas Djayadiningrat dan Hanung Bramantyo.

Dimas saya temui disuatu malam menjelang pagi. Meski tampak lelah sepulang syuting iklan di luar kota, mantan kekasih penyanyi Shanty ini tetap berceloteh dengan seru. Tak hanya lesunya industri video klip tanah air yang dituturkan pria kelahiran 24 Agustus 1973 ini, tapi juga mengenai perjalanan karir serta sikap perfeksionisnya.

Ditengah percakapan Dimas berujar, “Umur lo berapa sih Ty.”

“23” jawabku singkat.

“Anjir beda 13 tahun, pantesan gue berasa ngobrol ma ABG,” ujarnya sembari tergelak.

“Yee bukan gue yang ABG, tapi lo nya yang tua”

Dimas juga tampak tersipu ketika aku mengaku mengikuti perjalanan karirnya sejak awal, rese lo Ty, hanya itu yang diucapkan untuk menutupi raut wajah yang semu.

Hanung saya temui disebuah mall di Jakarta. Awalnya saya hanya berniat wawancara lewat telpon, namun ternyata kekasih Saskia Adya Mecca ini mau menyempatkan diri untuk bertemu langsung. “Saya ada di XXI PIM II nanti sore, kita ketemu disana aja,” kata Hanung.

Petang itu Hanung tampak menarik dibalut kemeja putih dan celana jeans. Setelah membeli tiket kami memutuskan untuk membunuh waktu di cafe terdekat. Hanung memesan hot lemon tea dan saya memesan segelas capucino dingin. Ternyata sutradara film Ayat-ayat Cinta ini memiliki kisah perjalanan hidup yang tak kalah fenomenal dari film besutannya.

Cinta, datang dan pergi menghampiri pria berdarah Jawa ini. Hanung sempat menikah pada usia muda hingga dikaruniai seorang anak bernama Bumi. “kami memutuskan untuk berpisah, ternyata untuk menjalin sebuah hubungan tak cukup hanya bermodalkan cinta,”

Ia juga menunjukkan cerita pendeknya yang berjudul layang-layang. Ceritanya cukup menarik dan “liar”.

“Dari pengalaman pribadi,” tanyaku. Hanung hanya tersenyum.

Puih, sebenarnya ada satu sosok lagi. Tapi secara usia dia belum terbilang matang, baru memasuki kepala tiga. Dia bukan orang terkenal, yang kalau namanya disebut orang akan langsung tahu. Dia hanya penulis tidak terkenal dari Yogya. Perawakannya juga tidak istimewa, meski seorang teman mengatakan sekilas dia mirip Piyu Padi –saya curiga mata teman saya menderita katarak-

Saya mengenal dia sekitar dua tahun silam, tapi kami baru dekat sekitar setahunan. Dalam rentang itu hubungan kami fluktuatif dan selalu berputar pada lingkaran setan. Saya ingin dia pergi dari kehidupan, tapi sesaat kemudian sayalah yang berteriak ingin dia kembali.

Akhir bulan Juni silam Tuhan memberikan kado istimewa bagi saya, yaitu bersama dia. Memang tak lama, hanya sekitar tiga jam. Tapi saya bahagia, meski setelah itu dia kembali menghilang...

Senin, 04 Agustus 2008

Ode Buat Monyet


“Aku pamit. Semoga loe bisa mempertahankan idealisme sebagai seorang jurnalis di kota yang suck kaya Jakarta”

Pesan pendek itu masuk dalam telepon genggamku jam1 dini hari. Setengah sadar ku baca, ada hampa yang menggenang di kepala. Satu lagi sahabat hilang ditelan oleh monster bernama Jakarta, tanah merah yang telah berganyang beribu kepala.

*****

Urban Jazz Crossover, sebuah acara musik yang mengawinkan antara jazz dengan musik-musik urban seperti rock, pop, hip-hop bahkan dance. EQ Puradiredja, sang sutradara di balik layar menawarkan sebuah Ide gila dengan mengubah lagu Radja yang berirama rock menjadi swing atau membawakan Smell Like Teen Spiritnya dengan alunan saxsofon.

Aku, salah satu manusia urban yang ikut menyempal kepadatan kota Jakarta tertarik menonton pertunjukkan akrobat musik tersebut. Meski tak yakin bisa mencerna alunan musik kelas atas tersebut, setidaknya aku bisa melemaskan urat syaraf yang enam hari kebelakang dipaksa untuk terus tegang.

Tapi tentu saja aku tak mau konyol tenggelam diantara para sosialita, aku butuh satu orang teman yang kastanya sederajat untuk menemaniku menikmati pertunjukkan itu. Maka ku kirim pesan pendek pada dua orang teman Gendut dan Monyet berisi ajakan untuk menonton.

Lima menit, setengah jam, tiga jam tak ada jawaban. Mungkin mereka malas menemani, tapi juga enggan berbasa-basi menolak. Tidak membalas pesan merupakan salah satu cara jitu untuk menolak ajakan. Kantuk semakin pekat hinggap dimataku, aku menyerah.

Dengan mata sayup yang masih terbuka setengah, kuambil telepon genggam yang mencicit dengan rakus. Sebuah pesan pendek tertulis dilayar monitor : “Maaf aku nggak bisa Tet. Besok aku pulang ke Yogya, tanggal 23 aku resign dari HOL”

Masih setengah ling-lung ku letakkan kembali alat komunikasi yang sudah menjadi kebutuhan primer abad 21 ini. Ku biarkan tubuhku kembali rebah, sementara benakku melayang kepada dia serta jalinan yang pernah diuntai.

Dia, pria sederhana yang membuat aku jatuh cinta pada Jawa. Pada tubuhnya kutemukan dua kutub yang saling bertentangan, antara feodalisme khas Jawa dan keterbukaan ala barat. Semua menyatu dalam sel abu-abu yang ada di kepalanya dan menjadi daya tarik tersendiri.

Awalnya aku menganggapnya lelaki biasa, dijual obral sepuluh ribu empat dan bisa dengan kudapatkan dengan mudah di emperan Senen atau Pasar Baru. Laki-laki dengan mulut penuh ular-ular kebusukan yang selalu haus akan selangkangan atau laki-laki yang bisa membuatmu mati kebosanan, karena omongannya mirip dengan khotbah jumat di DPR. Underestimate maupun apriori menjadi bagian dalam diriku semenjak dua tahun menetap di Jakarta, ah lagi-lagi aku menyalahkan kota tempatku mencari makan.

Aku lupa dari mana kedekatan itu berawal, tahu-tahu kami sudah terjebak dalam perdebatan realis magisnya Marques. Tiba-tiba saja masing-masing dari kami sudah punya panggilan sayang, dia ku panggil monyet dan dan dia memanggilku Kuntet.

Dia teman yang menyenangkan untuk diajak menghabiskan malam-malam Jakarta. Sedikitnya tawa kami yang mengembang di langit-langit Jakarta mengurangi kadar karbondioksida maupun timbal yang keluar dari pantat dinosaurus berlabel mercy, mikrolet ataupun bajaj.

Sebotol bir atau secangkir kopi kerap kali menjadi teman kami bercerita, mulai dari kisah Soeharto yang mangkir tiga minggu waktu dipanggil Tuhan. Sehingga bukan hanya wartawan atau perawat yang bergantian berjaga tapi juga malaikat maut. “Jangankan dipanggil jaksa agung, dipanggil Tuhan aja Soeharto mangkir,” ujar dia kelakar.

Dan aku tersenyum mengingatnya.

Pernah suatu saat kami membahas mengenai seks dan selangkangan. Monyet berpikir seharusnya manusia tidak perlu menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu dan istimewa. “Perlakukan seks layaknya kebutuhan biologis lainnya seperti makan, minum atau buang air,” ujarnya.

Bukankan makan, minum maupun buang air juga memiliki aturan yang harus ditaati. Kalau tidak mau muka bengkak-bengkak biru atau setidaknya diteriakin maling, untuk makan di restoran tentu harus membayar –kalau nggak pasti wartawan yang sedang ikut konpes -

Begitu pula kalau buang air, orang waras tentu tidak akan buang air di sembarang tempat. Meski sudah kebelet, setidaknya ia akan memilih tempat tertutup dan sepi. “Tentu lo nggak akan beol di depan kelas kan,” kata Monyet.

Seks seperti makan, tergantung selera. Selera juga bisa datang begitu saja, tanpa alasan yang logis.

Huh Monyet, lelaki bertubuh padat yang kerap mengundang birahi para perempuan – ingat waktu kita dugem di X2 banyak tante yang ngedeketin lo J- . “Lo tuh asik untuk diajak temenan dan diajak tidur, tapi bukan untuk dipacari,” ujarku.

“Sok tau lo, mang pernah pacaran ma gue. Lagian gue juga nggak mau tidur ma lo”

“ya udah kita pacaran aja untuk membuktikannya” tantangku

“Hua jauhkan gue dari mimpi buruk itu” kata Monyet yang gue yakin bukan dari hatinya yang terdalam.

****

Sepekan setelah kepergiannya kuputuskan untuk menghubungi Monyet. Ku tekan nomor yang sudah kuhapal di luar kepala.

“Lo baik-baik aja kan”

“Yups”

“Syukurlah..” dan kami bercerita panjang tentang obsesi dan alasannya meninggalkan belantara Jakarta.

“Kalau lo baik-baik aja, gue dukung lo pindah Nyet” ujarku

“Kalau lo nggak dukung mang ngaruh buat gue,”

Monyet nggak berubah dan semoga nggak akan berubah.

“Btw Nyet, gue masi pengen makanan Yogya lho,”